Liburan sudah usai, mereka yang bekerja kembali masuk, yang nganggur kembali nganggur, anak sekolah pun menuntaskan waktu liburan. Tukang potong rambut mendadak penuh karena anak-anak yang "menikmati" berambut panjang harus merelakan rambutnya dipangkas oleh tukang cukur kesayaangan istrinya. Kalau rambutnya tidak dirapihkan terpaksa mereka "diadili" Wakasek bertampang galak.
Ada sebuah peristiwa turun-temurun setelah liburan usai, guru Bahasa Indonesia dapat dipastikan menugaskan siswanya untuk bercerita tentang apa yang dilakukan selama liburan. Dapat dipastikan judul yang dipilih siswa seputar pergi ke rumah nenek, jarang yang bercerita pergi ke rumah hantu atau pergi ke rumah mantan hantu.
Tema "berkunjung ke rumah nenek" seolah menjadi mindset siswa ketika disuruh bercerita. Entah siapa yang mulai kebudayaan "berkunjung ke rumah nenek" apakah zaman dinasaurus dulu, guru dinosaurus sudah mengajarkan murid-murid untuk bercerita itu, ataukah T-Rex pernah menulis cerpen dengan tema berkunjung ke rumah nenek. Semua seolah menjadi misteri.
Sebagai guru Bahasa Indonesia saya tidak pernah menyuruh anak bercerita tentang liburannya, karena saya tahu banyak kebohongan di dalamnya. Seharian tidur tapi bercerita pergi ke rumah nenek di Afrika selatan.
Mengawali pembelajaran pertama di semester ini, saya lebih suka memotivasi siswa agar menjadi manusia yang tak seperti orang kebanyakan. Manusia anti mainstream yang mampu membuat arusnya sendiri.
Tidak sekadar sekolah, kuliah, cari kerja dan nikah. Buatlah sesuatu yang luarbiasa. Buatlah karya, setidaknya setelah tiada tidak hanya dikenang sebagai tanah. Karyanya selalu diperbincangkan.
Minimal beberapa siswa didikan saya mampu menjadi seseorang yang hidup tidak hanya mencari uang. Ada kebaikan yang ia sebarkan, ada karya yang menjadi ladang pahala.
Ada sebuah peristiwa turun-temurun setelah liburan usai, guru Bahasa Indonesia dapat dipastikan menugaskan siswanya untuk bercerita tentang apa yang dilakukan selama liburan. Dapat dipastikan judul yang dipilih siswa seputar pergi ke rumah nenek, jarang yang bercerita pergi ke rumah hantu atau pergi ke rumah mantan hantu.
Tema "berkunjung ke rumah nenek" seolah menjadi mindset siswa ketika disuruh bercerita. Entah siapa yang mulai kebudayaan "berkunjung ke rumah nenek" apakah zaman dinasaurus dulu, guru dinosaurus sudah mengajarkan murid-murid untuk bercerita itu, ataukah T-Rex pernah menulis cerpen dengan tema berkunjung ke rumah nenek. Semua seolah menjadi misteri.
Sebagai guru Bahasa Indonesia saya tidak pernah menyuruh anak bercerita tentang liburannya, karena saya tahu banyak kebohongan di dalamnya. Seharian tidur tapi bercerita pergi ke rumah nenek di Afrika selatan.
Mengawali pembelajaran pertama di semester ini, saya lebih suka memotivasi siswa agar menjadi manusia yang tak seperti orang kebanyakan. Manusia anti mainstream yang mampu membuat arusnya sendiri.
Tidak sekadar sekolah, kuliah, cari kerja dan nikah. Buatlah sesuatu yang luarbiasa. Buatlah karya, setidaknya setelah tiada tidak hanya dikenang sebagai tanah. Karyanya selalu diperbincangkan.
Minimal beberapa siswa didikan saya mampu menjadi seseorang yang hidup tidak hanya mencari uang. Ada kebaikan yang ia sebarkan, ada karya yang menjadi ladang pahala.
Saya juga nggak pernah minta anak buat cerita atau nulis tentang kisah liburannya. Lebih sering dipakai buat seru seruan di hari pertama.
ReplyDeleteTernyata gak ada yang cerita liburannya gegoleran sambil nonton tv tak 😁
ReplyDeleteyapp, tiap pribadi itu sebenernya unik, gak bisaa disamain, jadi memang menentukan nasib sendiri artinya berani memutuskan untuk berbedaaa dan memilih passion yang bener-bener *guwe banget*
ReplyDelete