Jujur saja aku sangat kesusahan menulis dengan genre non fiksi. Seakan pikiran liarku dikerangkeng dengan berbagai aturan yang membatasi. Seseorang dengan obsesi di luar normal, berharap bisa jualan nasi padang di Planet Mars "dipaksa" berpikir normal.
Zaman dahulu kala, eh baru beberapa bulan deh. Ketika menuntaskan skirpsi perlu perjuangan ekstra, di sana kebebasanku berimajinasi dibatasi. Aku tak bisa menuliskan pendapat Mang Odoy tentang arti pendidikan
"Ken, sekolah itu seperti main kelereng harus punya target. Jangan pergi ke sekolah hanya untuk jajan gorengan lima tapi ngaku satu,"
Tentu tulisan di atas tidak bisa aku masukan dalam skripsi. Mang Odoy belum pernah menulis buku apalagi jurnal, dia penulis bersahaja, menulis hanya di kamar mandi perempuan.
Berangkat dari kelemahanku menulis non fiksi akhirnya aku nekat untuk ditempa di kelas menulis non fiksi yang diselenggarakan ODOP, sebuah komunitas yang memiliki visi agar tiap hari anggotanya membiasakan diri menulis.
Tiga bulan di tempa di sana akhirnya aku memeroleh ijazah lulus. Sempat terlintas bahwa tak pantas mendapatkan sertifikat ini, wong aku hanya menyelesaikan 70% tugas dari keseluruhan tugas. Ini tak terlepas dari kebaikan admin 😂😂
Aku merasa mulai nyaman menulis non fiksi meski belum senyaman duduk berdua dengan Raisa, ah dia istri orang (Kenapa jadi bahas ini) sekalipun begitu aku masih merasa hijau dalam menulis non fiksi, masih perlu ditempa. Mungkin aku harus berguru kepada Kera Sakti, siapa tahu dia beralih profesi jadi menulis artikel.
Fiksi dan non fiksi adalah seni menyampaikan pesan. Keduanya sama saja hanya dibungkus dengan bentuk yang sedikit berbeda. Tak ada alasan untuk menghindari tulisan non fiksi.
Zaman dahulu kala, eh baru beberapa bulan deh. Ketika menuntaskan skirpsi perlu perjuangan ekstra, di sana kebebasanku berimajinasi dibatasi. Aku tak bisa menuliskan pendapat Mang Odoy tentang arti pendidikan
"Ken, sekolah itu seperti main kelereng harus punya target. Jangan pergi ke sekolah hanya untuk jajan gorengan lima tapi ngaku satu,"
Tentu tulisan di atas tidak bisa aku masukan dalam skripsi. Mang Odoy belum pernah menulis buku apalagi jurnal, dia penulis bersahaja, menulis hanya di kamar mandi perempuan.
Berangkat dari kelemahanku menulis non fiksi akhirnya aku nekat untuk ditempa di kelas menulis non fiksi yang diselenggarakan ODOP, sebuah komunitas yang memiliki visi agar tiap hari anggotanya membiasakan diri menulis.
Tiga bulan di tempa di sana akhirnya aku memeroleh ijazah lulus. Sempat terlintas bahwa tak pantas mendapatkan sertifikat ini, wong aku hanya menyelesaikan 70% tugas dari keseluruhan tugas. Ini tak terlepas dari kebaikan admin 😂😂
Aku merasa mulai nyaman menulis non fiksi meski belum senyaman duduk berdua dengan Raisa, ah dia istri orang (Kenapa jadi bahas ini) sekalipun begitu aku masih merasa hijau dalam menulis non fiksi, masih perlu ditempa. Mungkin aku harus berguru kepada Kera Sakti, siapa tahu dia beralih profesi jadi menulis artikel.
Fiksi dan non fiksi adalah seni menyampaikan pesan. Keduanya sama saja hanya dibungkus dengan bentuk yang sedikit berbeda. Tak ada alasan untuk menghindari tulisan non fiksi.
Selamat... lulus yey..
ReplyDeleteTak ada alasan untuk menghindari tulisan non fiksi
ReplyDeleteYang penting tetap pasang aksi
Agar bisa berbagi
Bareng-bareng makan nasi
*hahaha. Maaf mas Gilang.
yeyy selamat lulus kang
ReplyDeleteYeyy kita seangkatan kagil ahahahah
ReplyDeleteCongratulation 😅😅
ReplyDeletemenulis, modalnya nekat . intinya ya mas. heheheh
ReplyDeleten banyak banyak baca ya mas