Bulan suci Ramadan sudah berada di ujung jalan. Tak terasa 30 hari berpuasa hampir terlewati apalagi bagi saya yang baru mampu menahan haus dan dahaga, godaan artis dangdut belum mampu diatasi.
Sepuluh hari terakhir di bulan Ramadan, aroma puasa kerap kali dikombinasikan banyak hal. Sebagian besar Ibu-Ibu sudah sibuk dengan urusan kue dan segala pernak-perniknya. Para Orangtua mulai resah menunggu tunjangan hari raya, Anak-Anaknya sudah merengek ingin dibelikan baju baru.
Jomblo-Jomblo pun mulai sibuk mencari alasan, ketika di hari fitri ditanya mana jodohnya kini ? (Ah, aku termasuk golongan ini) Di antara beragam pernak-pernik di pengujung Ramadan, ada sebagian orang yang mencintai bulan suci lebih dari dunia dan isinya. Mereka itikaf di Masjid, lebih mendekatkan diri dengan Tuhan. Sejenak melupakan urusan dunia yang memang hanya sementara.
Bagiku Ramadan ini terasa belum maksimal, sibuk dengan urusan duniawi termasuk di dalamnya gengsi. Salahku terlalu akrab dengan skripsi karena ada tuntutan dalam diri untuk sidang sebelum Idul Fitri, agar nanti ketika ditanya "Sudah beres kuliahnya ?" dengan bangga menjawab "Sudah," lalu disusul pertanyaan lainnya "Lalu kapan nikahnya ?" pertanyaan yang membuat sebagian orang (Termasuk saya) mendadak mengheningkan cipta.
Entah sejak kapan Idul Fitri dan adu gengsi menjadi kesatuan yang berlawanan arti. Di sisi lain Idul Fitri ialah hari kemenangan, umat Islam menyambutnya dengan sukacita dan airmata karena seolah terlahir kembali. Di sisi lainnya Idul Fitri menjadi sarana adu gengsi terselebung, tak jarang saya dapati Idul Fitri seperti karnawal pamer duniawi.
Dengan mudah kita dapati seseorang yang memakai perhiasan seolah toko emas berjalan, bahkan sudah menjadi rahasia umum bahwa toko emas mainan kebanjiran pelanggan. Entah saya yang terlalu berpikiran negatif atau memang Idul Fitri dan adu gengsi sudah menjadi budaya.
Idul Fitri ialah momen di mana kita terlahir kembali sebagai manusia. Manusia yang lekat dengan keinginan selalu disanjung, manusia yang belum bisa seperti malaikat yang tanpa dosa. Saya sebagai manusia merasa bermandikan dosa, Tuhan berbaik hati menyucikan kita melalui rahmatNya.
Sepuluh hari terakhir di bulan Ramadan, aroma puasa kerap kali dikombinasikan banyak hal. Sebagian besar Ibu-Ibu sudah sibuk dengan urusan kue dan segala pernak-perniknya. Para Orangtua mulai resah menunggu tunjangan hari raya, Anak-Anaknya sudah merengek ingin dibelikan baju baru.
Jomblo-Jomblo pun mulai sibuk mencari alasan, ketika di hari fitri ditanya mana jodohnya kini ? (Ah, aku termasuk golongan ini) Di antara beragam pernak-pernik di pengujung Ramadan, ada sebagian orang yang mencintai bulan suci lebih dari dunia dan isinya. Mereka itikaf di Masjid, lebih mendekatkan diri dengan Tuhan. Sejenak melupakan urusan dunia yang memang hanya sementara.
Bagiku Ramadan ini terasa belum maksimal, sibuk dengan urusan duniawi termasuk di dalamnya gengsi. Salahku terlalu akrab dengan skripsi karena ada tuntutan dalam diri untuk sidang sebelum Idul Fitri, agar nanti ketika ditanya "Sudah beres kuliahnya ?" dengan bangga menjawab "Sudah," lalu disusul pertanyaan lainnya "Lalu kapan nikahnya ?" pertanyaan yang membuat sebagian orang (Termasuk saya) mendadak mengheningkan cipta.
Entah sejak kapan Idul Fitri dan adu gengsi menjadi kesatuan yang berlawanan arti. Di sisi lain Idul Fitri ialah hari kemenangan, umat Islam menyambutnya dengan sukacita dan airmata karena seolah terlahir kembali. Di sisi lainnya Idul Fitri menjadi sarana adu gengsi terselebung, tak jarang saya dapati Idul Fitri seperti karnawal pamer duniawi.
Dengan mudah kita dapati seseorang yang memakai perhiasan seolah toko emas berjalan, bahkan sudah menjadi rahasia umum bahwa toko emas mainan kebanjiran pelanggan. Entah saya yang terlalu berpikiran negatif atau memang Idul Fitri dan adu gengsi sudah menjadi budaya.
Idul Fitri ialah momen di mana kita terlahir kembali sebagai manusia. Manusia yang lekat dengan keinginan selalu disanjung, manusia yang belum bisa seperti malaikat yang tanpa dosa. Saya sebagai manusia merasa bermandikan dosa, Tuhan berbaik hati menyucikan kita melalui rahmatNya.
Waww ahahaha
ReplyDeleteTulisan aa Kali ini dalem
ReplyDeleteidul fitri, jadi ingat dapat ampau dari om-om teman ayah dan ibu, ketika masih kecil, hehehe
ReplyDeleteMakjleb banget nih remindernya, mas Gilang :)
ReplyDelete