Puzzle sebelumnya di sini
Keadaan tiba-tiba hening, tak ada suara apapun selain detak jantungku yang memompa begitu cepat. Bagaimana tidak tegang, mamah sedang memegang surat skorsingku dari sekolah. Wajah mamah berkerut pertanda menemukan sesuatu yang tidak baik dari isi surat itu.
"Gilaaaaaaang," mamah berteriak memecah keheningan.
"Iya Mah," aku menjawab lesu sembari tertunduk.
"Gimana mamah mau lihat, tulisan di surat ini kecil banget. Paling juga tagihan SPP kan ?" mamah mengernyitkan dahi.
"Iya Mah tapi harus tanda tangan dulu di sini," Kali ini aku terpaksa berbohong.
"Kenapa harus tanda tangan dulu sih Lang, biasanya juga engga."
"Ngga tahu Mah," aku menjawab sembari pergi membawa bolpoin.
Dengan secepat kilat mamah telah menandatangi surat skorsing yang berkamuflase seperti tagihan SPP. Memang keluarga bukan orang yang berada, bahkan SPP sekolah pun sekali kali telat dibayar. Hingga pernah hampir tak mengikuti Ujian karena belum bayar SPP beberapa bulan. Untungnya ada Romeo yang berbaik hati meminjamkan uang.
Romeo teman yang baik. Sekalipun aku tahu dia berasal dari keluarga yang kelas ekonominya sama denganku. Tanpa disuruh, kami selalu membantu. Ketika Romeo kebingungan menebus obat di apotek karena tak punya uang, giliran aku yang membantunya. Aku tahu sekarang Romeo sedang memikiran cara agar aku bebas dari skorsing.
Mamah kembali menatap ke arahku. Mungkin kali ini akan ada pembicaraan serius.
"Lang, kamu tahukan kondisi ekonomi keluarga kita ?" Aku mengangguk pelan.
"Ayahmu hanya pekerja proyek yang penghasilannya tidak besar. Bahkan tadi ayahmu menelpon sebulan ke depan tidak bisa pulang karena tidak punya ongkos,"
Aku masih termenung, memikirkan ayah yang berada di pedalaman Kalimantan. Ayah adalah satu salah pekerja dalam proyek pembangunan jalan di pedalaman Kalimantan.
"Kamu harus rajin sekolah Lang, kamu harus jadi contoh untuk kedua adikmu. Mamah sering bawel ke kamu, itu untuk kebaikan juga. Mamah ingin adik-adikmu termotivasi oleh kakaknya. Jangan kecewakan mamah yah ?"
Mamah mengecup keningku diiringi dua bulir air mata. Di hati terdalam, aku menyesal telah membohonginya.
Keadaan tiba-tiba hening, tak ada suara apapun selain detak jantungku yang memompa begitu cepat. Bagaimana tidak tegang, mamah sedang memegang surat skorsingku dari sekolah. Wajah mamah berkerut pertanda menemukan sesuatu yang tidak baik dari isi surat itu.
"Gilaaaaaaang," mamah berteriak memecah keheningan.
"Iya Mah," aku menjawab lesu sembari tertunduk.
"Gimana mamah mau lihat, tulisan di surat ini kecil banget. Paling juga tagihan SPP kan ?" mamah mengernyitkan dahi.
"Iya Mah tapi harus tanda tangan dulu di sini," Kali ini aku terpaksa berbohong.
"Kenapa harus tanda tangan dulu sih Lang, biasanya juga engga."
"Ngga tahu Mah," aku menjawab sembari pergi membawa bolpoin.
Dengan secepat kilat mamah telah menandatangi surat skorsing yang berkamuflase seperti tagihan SPP. Memang keluarga bukan orang yang berada, bahkan SPP sekolah pun sekali kali telat dibayar. Hingga pernah hampir tak mengikuti Ujian karena belum bayar SPP beberapa bulan. Untungnya ada Romeo yang berbaik hati meminjamkan uang.
Romeo teman yang baik. Sekalipun aku tahu dia berasal dari keluarga yang kelas ekonominya sama denganku. Tanpa disuruh, kami selalu membantu. Ketika Romeo kebingungan menebus obat di apotek karena tak punya uang, giliran aku yang membantunya. Aku tahu sekarang Romeo sedang memikiran cara agar aku bebas dari skorsing.
Mamah kembali menatap ke arahku. Mungkin kali ini akan ada pembicaraan serius.
"Lang, kamu tahukan kondisi ekonomi keluarga kita ?" Aku mengangguk pelan.
"Ayahmu hanya pekerja proyek yang penghasilannya tidak besar. Bahkan tadi ayahmu menelpon sebulan ke depan tidak bisa pulang karena tidak punya ongkos,"
Aku masih termenung, memikirkan ayah yang berada di pedalaman Kalimantan. Ayah adalah satu salah pekerja dalam proyek pembangunan jalan di pedalaman Kalimantan.
"Kamu harus rajin sekolah Lang, kamu harus jadi contoh untuk kedua adikmu. Mamah sering bawel ke kamu, itu untuk kebaikan juga. Mamah ingin adik-adikmu termotivasi oleh kakaknya. Jangan kecewakan mamah yah ?"
Mamah mengecup keningku diiringi dua bulir air mata. Di hati terdalam, aku menyesal telah membohonginya.
Noh Aa... Rajin dong..
ReplyDeleteYa tuh yg rajin, jangan degil
ReplyDelete