Anak jalanan kumbang metropolitan
Selalu ramai dalam kesepian
Anak jalanan korban kemunafikan
Selalu kesepian di keramaian
Aku paling suka menyanyikan lagu "Anak Jalanan" yang dipopulerkan Chrisye dan Sandy Sandoro. Lagu itu seolah mewakili apa yang kurasakan sebagai anak jalanan. Memang sesekali aku menyanyikan lagu dangdut seperti "Geboy mujair" tapi reaksi penonton malah memasang raut jijik. Bagaimana tidak jijik, seorang pria berumur 23 tahun bergoyang tak jelas sembari mendendangkan lagu dangdut.
Sejak kecil aku memang hidup di jalanan, tak pernah merasakan bangku sekolah. Hanya bangku kopaja yang kutahu rasanya. Meskipun tak sekolah aku bisa berhitung dan membaca. Di jalanan kemampuan berhitung sangat berguna, paling tidak menghitung uang hasil ngamen. Orang yang sangat berjasa mengajarkan membaca serta menulis adalah mamah. Sekalipun sejak aku berumur 10 tahun, mamah terserang penyakit yang menghilangkan kemampuannya berdiri. Kami tak punya cukup untuk sekadar mengetahui penyakit yang menyerang mamah, apalah daya di Ibukota kami hanya penduduk yang tak punya data, KTP dan kartu keluarga adalah kemewahan yang tak bisa kami sentuh.
Aku selalu bertanya apapun kepada mamah, hampir semua pertanyaan berhasil dijawab kecuali pertanyaan tentang di mana bapak ? mamah selalu diam seribu bahasa. Berulang kali aku bertanya akhirnya mamah menunjukan sesuatu. Mamah menyuruhku mencari sebuah foto di balik lemari baju. Kudapati foto seorang pria tampan, mamah berkata patah-patah bahwa foto yang aku pegang adalah foto bapak. Hanya itu yang mamah ceritakan.
Aku tak mau menanyakan bapak lebih dalam, rasanya mamah terluka setiap kali kubertanya. Sudah 10 tahun foto bapak berada di dompet usangku, selama hidup di jalanan aku tak pernah melihatnya. Fokusku sekarang hanya mengobati mamah. Pernah di suatu saat, uang tabungan hasil pengamenku sudah banyak. Rasanya cukup untuk mengobati penyakit mamah, tetapi mamah selalu menolak ketika aku akan membawanya ke rumah sakit.
"Lebih baik simpan uangmu untuk kehidupanmu nanti, kelak kamu akan punya seorang istri," Mamah memasang senyuman.
Seorang istri ? saat itu aku tak pernah berpikir sedikit pun tentang pasangan hidup. Apakah mungkin ada perempuan yang terlampau bodoh sehingga memilih seorang pengamen yang nyaris tanpa masa depan. Bukankah zaman sekarang itu kaum Hawa berlomba-lomba mencari sosok lelaki dengan ekonomi mapan ? syarat yang sangat sulit aku penuhi. Penghasilanku mengamen hanya cukup untuk makan aku dan mamah.
Mamah hampir selalu benar dalam menjawab setiap pertanyaan, dua tahun lalu tanpa sengaja aku bertemu seorang gadis yang begitu memesona. Parasnya sebanding dengan artis terkemuka yang wajah terpasang di baliho. Ketika itu lampu merah, aku dengan cepat menghampiri sebuah mobil untuk mengamen.
Dimana, akan ku cari
Aku menangis seorang diri
Hatiku selalu ingin bertemu
Untukmu aku bernyayi
Untuk ayah tercinta
Aku ingin bernyanyi
Walau air mata
Di pipiku
Ayah dengarkanlah
Aku ingin berjumpa
Walau hanya dalam
Mimpi..
Lagu yang berjudul "Ayah" telah aku nyanyikan. Seorang perempun membuka kaca mobilnya sembari tersenyum. Sontak saja jantungku serasa berhenti. Senyumannya mampu menyebabkan penyakit diabetes, terlampau manis.
"Mas aku suka suara dan lagu yang dinyanyikan," Masih memasang senyuman.
Aku hanya tertegun, bingung mau berkata apa. Dia memberikan uang merah bergambar tokoh proklamator disertai secarik kertas.
"Itu nomor HP aku, ada hal yang aku sukai dari kamu. Nanti hubungi aku yah ?" Dia berlalu seiring lampu merah yang berubah hijau.
Walau hanya beberapa detik bertemu tetapi senyumanya selalu kekal di kepalaku. Sebuah kalimat "Ada hal yang aku sukai dari kamu" selalu terngiang-ngiang di kepala. Belum lagi secarik kertas berisi nomor HP adalah hal yang lebih berharga daripada secarik uang merah ini.
Sore harinya aku mencari Soni, salah seorang teman ngamen yang punya HP. Saat itu HP masih terlampau mahal untuk dimiliki pengamen seperti kami. Soni beruntung menemukan HP itu di gorong-gorong, ajaibnya HP itu masih berfungsi. Soni menjadi pembicaraan di kalangan pengamen, dia menjadi pengamen paling modern saat itu.
"Ayolah Son, pinjem bentar HPnya paling cuma 5 menit. Aku ganti nasi padang deh," Aku berusah membujuk Soni.
"Nasi padang tiga porsi baru aku pinjamkan," Soni menampilkan senyum licik.
"Dua lah Son."
"Tiga porsi atau tidak sama sekali."
"Yaudah deh," Soni meminjamkan HPnya.
Aku memindahkan nomor dari kertas. Beberapa detik kemudian seorang pria yang kemudian mengganti suaranya menjadi wanita menjawab.
"Halo," (Dengan suara ngebass)
aku masih kebingungan kok yang menjawab pria, parahnya aku tak tahu nama perempuan yang akan kutelepon.
"Eh halo, ini tempat pijit merpati. Ada yang bisa dibantu," Suara ngebass berubah menjadi suara perempuan dengan nada lembut.
Rasanya aku curiga ada yang salah, aku perhatikan nomor di kertas. Ternyata kurang satu angka. Kali ini aku mencobanya lagi.
"Halo," Aku mencoba mengawali.
"Halo, ini Mas yang nyanyi lagu Ayah," Suara lembut menyapaku.
"Iiiiya," Aku masih saja grogi.
"Aku suka dengan suaranya Mas, bisakan kita bertemu di Kafe Nada besok ?"
Beberapa detik aku terdiam sebelum mengatakan "iya" dengan terbata-bata. Aku pulang setelah mengembalikan HP milik Soni.
Di rumah, mamah menaruh wajah curiga dengan sikapku yang tiba-tiba bahagia.
"Kamu kenapa Lang, senyum-senyum terus ?"
Aku tak pernah bisa membohongi mamah, aku menceritakan tentang pertemuan dengan seorang perempuan. Saat itu mamah berpesan bahwa bahagia boleh saja tapi yang terlalu berharap tinggi kepada manusia nanti jatuhnya bisa sakit. Aku menganggukan kepala saat itu, kelak apa yang dinyatakan mamah akan jadi kenyataan.
Aku sudah berada di depan Kafe Nada. Rasanya tak percaya diri jika melihat pakaian dan gitar tua yang aku bawa. Aku nekad masuk ke kafe yang terkenal khusus untuk kalangan elite itu. Ketika masuk pegawai kafe itu menatapku, seolah menyuruhku keluar. Sebelum itu semua terjadi seorang perempuam cantik melambaikan tangannya kepadaku. Pegawai kafe itu berubah wajahnya menjadi tersenyum.
Aku duduk di samping perempuan yang bahkan belum kutahu namanya.
"Hei, ketemu lagi," dia menyapaku dengan senyuman jika tak menguatkan hati bisa saja aku pingsan.
Aku membalas dengan senyuman tanggung.
"Eh kita belum kenalan, aku Risa Gemilang."
"Aku Gilang Gemilang," kami berdua terdiam beberapa detik sebelum tertawa lepas menyadari ada sesuatu yang unik, nama belakang kami sama.
"Eh, jangan-jangan kita jodoh yah ? kok bisa sama."
"Aku berharap begitu," Aku menjawab pelan.
"Tadi Gilang bicara apa nggak kedengaran ?"
"Eh engga-engga."
"Langsung aja yah Lang. Aku ngajak kamu ketemuan. Mau ngudang kamu nyanyi di kafe yang aku punya. Suara kamu keren banget. Bisakan ?
"Bisaaaaa, kapan," Aku menjawab begitu semangat.
"Sekarang. Gih kamu maju ke depan."
"eh kok, nggak kecepatan ini."
"Engga dong. Nyanyi biasa aja seperti kamu saat itu."
Dengan gemetar aku berjalan ke depan. Microphone sudah kupegang. Aku memperhatikan orang-orang sekitar, mereka memasang wajah heran. Wajarlah penampilanku tidak layak untuk berada di sini.
"Teman-teman izinkan saya menyanyikan sebuah lagu yang sering dibawakan ketika dijalanan. Iya, saya hanya musisi jalanan yang mencoba menghibur teman-teman di sini.
Lima menit berlalu tak terasa, lagu "Anak jalanan" memeroleh respons luarbiasa. Mereka berdiri sembari tepuk tangan. Di sudut sana Risa juga tersenyum sangat manis.
Semenjak itu hari-hariku berubah. Hasil penyanyi di kafe sangat besar bagiku. Cukup untuk melunasi janji kepada Soni sekaligus mengajak teman-teman lainnya. Mamah juga aku belikan kursi roda agar lebih mudah bergerak. Selang beberapa bulan aku sudah menjadi penyanyi tetap di kafe milik Risa. Sontak itu semua menjadi jalan kedekatanku dengan Risa bahkan disuatu hari Risa mengajakku ke rumahnya untuk latihan sebagai persiapan acara khusus di kafenya.
Mengingat kembali kejadian di rumah Risa, membuat rasa senang dan duka bercampur. Saat itu aku ke rumahnya dengan pakaian yang lebih baik. Risa tampil seperti biasa, begitu cantik memesona. Dia mengajakku berkeliling rumahnya. Rumahnya sebanding dengan Risa yang cantik. Semua kecantikan itu tiba-tiba dialihkan oleh foto pria yang sedang memeluk Risa. Foto yang nanti akan menjadi awal sekaligus akhir.
"Sa, foto siapa itu," aku bertanya dengan gemetar.
"Oh itu foto ayahku miripkan ?"
Aku tak mempersalahkan pria itu memeluk Risa, aku heran foto orang yang bersama Risa mirip dengan foto seorang pria yang kupanggil Bapak.
Selalu ramai dalam kesepian
Anak jalanan korban kemunafikan
Selalu kesepian di keramaian
Aku paling suka menyanyikan lagu "Anak Jalanan" yang dipopulerkan Chrisye dan Sandy Sandoro. Lagu itu seolah mewakili apa yang kurasakan sebagai anak jalanan. Memang sesekali aku menyanyikan lagu dangdut seperti "Geboy mujair" tapi reaksi penonton malah memasang raut jijik. Bagaimana tidak jijik, seorang pria berumur 23 tahun bergoyang tak jelas sembari mendendangkan lagu dangdut.
Sejak kecil aku memang hidup di jalanan, tak pernah merasakan bangku sekolah. Hanya bangku kopaja yang kutahu rasanya. Meskipun tak sekolah aku bisa berhitung dan membaca. Di jalanan kemampuan berhitung sangat berguna, paling tidak menghitung uang hasil ngamen. Orang yang sangat berjasa mengajarkan membaca serta menulis adalah mamah. Sekalipun sejak aku berumur 10 tahun, mamah terserang penyakit yang menghilangkan kemampuannya berdiri. Kami tak punya cukup untuk sekadar mengetahui penyakit yang menyerang mamah, apalah daya di Ibukota kami hanya penduduk yang tak punya data, KTP dan kartu keluarga adalah kemewahan yang tak bisa kami sentuh.
Aku selalu bertanya apapun kepada mamah, hampir semua pertanyaan berhasil dijawab kecuali pertanyaan tentang di mana bapak ? mamah selalu diam seribu bahasa. Berulang kali aku bertanya akhirnya mamah menunjukan sesuatu. Mamah menyuruhku mencari sebuah foto di balik lemari baju. Kudapati foto seorang pria tampan, mamah berkata patah-patah bahwa foto yang aku pegang adalah foto bapak. Hanya itu yang mamah ceritakan.
Aku tak mau menanyakan bapak lebih dalam, rasanya mamah terluka setiap kali kubertanya. Sudah 10 tahun foto bapak berada di dompet usangku, selama hidup di jalanan aku tak pernah melihatnya. Fokusku sekarang hanya mengobati mamah. Pernah di suatu saat, uang tabungan hasil pengamenku sudah banyak. Rasanya cukup untuk mengobati penyakit mamah, tetapi mamah selalu menolak ketika aku akan membawanya ke rumah sakit.
"Lebih baik simpan uangmu untuk kehidupanmu nanti, kelak kamu akan punya seorang istri," Mamah memasang senyuman.
Seorang istri ? saat itu aku tak pernah berpikir sedikit pun tentang pasangan hidup. Apakah mungkin ada perempuan yang terlampau bodoh sehingga memilih seorang pengamen yang nyaris tanpa masa depan. Bukankah zaman sekarang itu kaum Hawa berlomba-lomba mencari sosok lelaki dengan ekonomi mapan ? syarat yang sangat sulit aku penuhi. Penghasilanku mengamen hanya cukup untuk makan aku dan mamah.
Mamah hampir selalu benar dalam menjawab setiap pertanyaan, dua tahun lalu tanpa sengaja aku bertemu seorang gadis yang begitu memesona. Parasnya sebanding dengan artis terkemuka yang wajah terpasang di baliho. Ketika itu lampu merah, aku dengan cepat menghampiri sebuah mobil untuk mengamen.
Dimana, akan ku cari
Aku menangis seorang diri
Hatiku selalu ingin bertemu
Untukmu aku bernyayi
Untuk ayah tercinta
Aku ingin bernyanyi
Walau air mata
Di pipiku
Ayah dengarkanlah
Aku ingin berjumpa
Walau hanya dalam
Mimpi..
Lagu yang berjudul "Ayah" telah aku nyanyikan. Seorang perempun membuka kaca mobilnya sembari tersenyum. Sontak saja jantungku serasa berhenti. Senyumannya mampu menyebabkan penyakit diabetes, terlampau manis.
"Mas aku suka suara dan lagu yang dinyanyikan," Masih memasang senyuman.
Aku hanya tertegun, bingung mau berkata apa. Dia memberikan uang merah bergambar tokoh proklamator disertai secarik kertas.
"Itu nomor HP aku, ada hal yang aku sukai dari kamu. Nanti hubungi aku yah ?" Dia berlalu seiring lampu merah yang berubah hijau.
Walau hanya beberapa detik bertemu tetapi senyumanya selalu kekal di kepalaku. Sebuah kalimat "Ada hal yang aku sukai dari kamu" selalu terngiang-ngiang di kepala. Belum lagi secarik kertas berisi nomor HP adalah hal yang lebih berharga daripada secarik uang merah ini.
Sore harinya aku mencari Soni, salah seorang teman ngamen yang punya HP. Saat itu HP masih terlampau mahal untuk dimiliki pengamen seperti kami. Soni beruntung menemukan HP itu di gorong-gorong, ajaibnya HP itu masih berfungsi. Soni menjadi pembicaraan di kalangan pengamen, dia menjadi pengamen paling modern saat itu.
"Ayolah Son, pinjem bentar HPnya paling cuma 5 menit. Aku ganti nasi padang deh," Aku berusah membujuk Soni.
"Nasi padang tiga porsi baru aku pinjamkan," Soni menampilkan senyum licik.
"Dua lah Son."
"Tiga porsi atau tidak sama sekali."
"Yaudah deh," Soni meminjamkan HPnya.
Aku memindahkan nomor dari kertas. Beberapa detik kemudian seorang pria yang kemudian mengganti suaranya menjadi wanita menjawab.
"Halo," (Dengan suara ngebass)
aku masih kebingungan kok yang menjawab pria, parahnya aku tak tahu nama perempuan yang akan kutelepon.
"Eh halo, ini tempat pijit merpati. Ada yang bisa dibantu," Suara ngebass berubah menjadi suara perempuan dengan nada lembut.
Rasanya aku curiga ada yang salah, aku perhatikan nomor di kertas. Ternyata kurang satu angka. Kali ini aku mencobanya lagi.
"Halo," Aku mencoba mengawali.
"Halo, ini Mas yang nyanyi lagu Ayah," Suara lembut menyapaku.
"Iiiiya," Aku masih saja grogi.
"Aku suka dengan suaranya Mas, bisakan kita bertemu di Kafe Nada besok ?"
Beberapa detik aku terdiam sebelum mengatakan "iya" dengan terbata-bata. Aku pulang setelah mengembalikan HP milik Soni.
Di rumah, mamah menaruh wajah curiga dengan sikapku yang tiba-tiba bahagia.
"Kamu kenapa Lang, senyum-senyum terus ?"
Aku tak pernah bisa membohongi mamah, aku menceritakan tentang pertemuan dengan seorang perempuan. Saat itu mamah berpesan bahwa bahagia boleh saja tapi yang terlalu berharap tinggi kepada manusia nanti jatuhnya bisa sakit. Aku menganggukan kepala saat itu, kelak apa yang dinyatakan mamah akan jadi kenyataan.
Aku sudah berada di depan Kafe Nada. Rasanya tak percaya diri jika melihat pakaian dan gitar tua yang aku bawa. Aku nekad masuk ke kafe yang terkenal khusus untuk kalangan elite itu. Ketika masuk pegawai kafe itu menatapku, seolah menyuruhku keluar. Sebelum itu semua terjadi seorang perempuam cantik melambaikan tangannya kepadaku. Pegawai kafe itu berubah wajahnya menjadi tersenyum.
Aku duduk di samping perempuan yang bahkan belum kutahu namanya.
"Hei, ketemu lagi," dia menyapaku dengan senyuman jika tak menguatkan hati bisa saja aku pingsan.
Aku membalas dengan senyuman tanggung.
"Eh kita belum kenalan, aku Risa Gemilang."
"Aku Gilang Gemilang," kami berdua terdiam beberapa detik sebelum tertawa lepas menyadari ada sesuatu yang unik, nama belakang kami sama.
"Eh, jangan-jangan kita jodoh yah ? kok bisa sama."
"Aku berharap begitu," Aku menjawab pelan.
"Tadi Gilang bicara apa nggak kedengaran ?"
"Eh engga-engga."
"Langsung aja yah Lang. Aku ngajak kamu ketemuan. Mau ngudang kamu nyanyi di kafe yang aku punya. Suara kamu keren banget. Bisakan ?
"Bisaaaaa, kapan," Aku menjawab begitu semangat.
"Sekarang. Gih kamu maju ke depan."
"eh kok, nggak kecepatan ini."
"Engga dong. Nyanyi biasa aja seperti kamu saat itu."
Dengan gemetar aku berjalan ke depan. Microphone sudah kupegang. Aku memperhatikan orang-orang sekitar, mereka memasang wajah heran. Wajarlah penampilanku tidak layak untuk berada di sini.
"Teman-teman izinkan saya menyanyikan sebuah lagu yang sering dibawakan ketika dijalanan. Iya, saya hanya musisi jalanan yang mencoba menghibur teman-teman di sini.
Lima menit berlalu tak terasa, lagu "Anak jalanan" memeroleh respons luarbiasa. Mereka berdiri sembari tepuk tangan. Di sudut sana Risa juga tersenyum sangat manis.
Semenjak itu hari-hariku berubah. Hasil penyanyi di kafe sangat besar bagiku. Cukup untuk melunasi janji kepada Soni sekaligus mengajak teman-teman lainnya. Mamah juga aku belikan kursi roda agar lebih mudah bergerak. Selang beberapa bulan aku sudah menjadi penyanyi tetap di kafe milik Risa. Sontak itu semua menjadi jalan kedekatanku dengan Risa bahkan disuatu hari Risa mengajakku ke rumahnya untuk latihan sebagai persiapan acara khusus di kafenya.
Mengingat kembali kejadian di rumah Risa, membuat rasa senang dan duka bercampur. Saat itu aku ke rumahnya dengan pakaian yang lebih baik. Risa tampil seperti biasa, begitu cantik memesona. Dia mengajakku berkeliling rumahnya. Rumahnya sebanding dengan Risa yang cantik. Semua kecantikan itu tiba-tiba dialihkan oleh foto pria yang sedang memeluk Risa. Foto yang nanti akan menjadi awal sekaligus akhir.
"Sa, foto siapa itu," aku bertanya dengan gemetar.
"Oh itu foto ayahku miripkan ?"
Aku tak mempersalahkan pria itu memeluk Risa, aku heran foto orang yang bersama Risa mirip dengan foto seorang pria yang kupanggil Bapak.
Aiihh....
ReplyDelete