Puzzle sebelumnya baca di sini
Ingin rasanya menghampiri Cili lalu mengusap airmatanya, tapi ini bukan saat yang tepat. Aku sungguh tahu, dia masih kesal dengan sikapku. Di kala wanita menangis, saat itu juga dia sedang merasakan kecewa. Namun aku tak bisa diam saja seperti ini, rasanya lebih memusingkan dari ulangan matematika. Jika matematika membuatku sakit kepala, keadaan ini membuatku tak tahu harus lakukan apa.
Badanku terasa menanggung gunung Semeru, berat sekali untuk menghampirinya lalu berkata
"Maafkan atas sikapku tadi, sekarang izinkan aku menghapus bulir-bulir di matamu," Ah kata itu hanya ada dalam lamunan tak mampu aku wujudkan menjadi kenyataan.
Bel masuk sekolah sudah berbunyi, laksana panggilan alam ia memberikan perintah untuk setiap siswa masuk kembali ke kelasnya. Sama hal dengan kelasku yang perlahan dimasuki para penghuninya. Dari jendela kulihat Cili menghapus airmatanya sendiri mungkin dia tak mau oranglain tahu.
Harusnya dia tak perlu bersusah payah menghapusnya airmatanya, harusnya itu tugas aku. Lebih tepatnya tugas seorang pria untuk menjaga airmata seorang wanita agar tak menetes karenanya.
Dengan berat hati, aku memaksa kaki untuk melangkah ke kelas. Sambil berjalan ku menundukan kepala tanpa satu katapun terucap ketika melewati bangku Cili. Aku tahu dia sempat melirik lalu sedetik kemudian membuang muka. Tempat dudukku tepat dibelakang Cili. Meski jarak kita sangat dekat namun pada kenyataannya ada tembok kokoh yang menjadi penghalang untuk kembali bertegur sapa.
"Lang, kamu kerasukan hantu penghuni WC ?" Romeo, teman sebangku-ku mulai mengawali pembicaraan.
"Engga," Aku menjawab singkat.
"Eh iya deh, mana ada hantu yang masuk ke badan kamu, Kamukan jarang mandi," Diringi tawa nyaring Romeo."
"Iya," masih menjawah pendek."
"Kamu kenapa sih Lang, tumben pendiam banget, jangan-jangan diam karena nahan kencing," masih diiringi tawa Romeo.
Tentu saja Romeo akan merasa aneh melihatku yang hanya diam. Biasanya kami saling mencela sebagai tanda persahabatan, memang aneh sih hinaan bisa saling mengakrabkan.
Kali ini Romeo menghentikan tawanya, dia meletakkan tanganya di dahiku.
"Wah, Lang kamu sepertinya sakit. Badanmu panas banget," Kali ini raut wajah Romeo berubah serius.
"Engga, biasa aja," aku menjawab seadanya. Memang sejak tadi bukan hanya perasaanku yang tak enak, badanku rasanya memiliki rasa yang sama.
Sepanjang jam pelajaran Romeo memilih diam, dia nampaknya sudah mengerti keadaanku sedang tak seperti biasanya. Tidak terasa jam pelajaran sudah usai. Harus kuakui tak ada satupun perkataan guru yang aku ingat selain ucapan salam.
Kelas mulai lenggang, satu persatu penghuni pergi. Aku masih terduduk tak bergeser walau satu inci. Begitupun dengan Cili, sudah beberapa menit kita saling berdiam diri tak mengucapkan satu katapun. Perlahan Cili mulai menggerakkan badannya lalu menatapku sebentar dan pergi meninggalkan kelas.
Ingin rasanya menghampiri Cili lalu mengusap airmatanya, tapi ini bukan saat yang tepat. Aku sungguh tahu, dia masih kesal dengan sikapku. Di kala wanita menangis, saat itu juga dia sedang merasakan kecewa. Namun aku tak bisa diam saja seperti ini, rasanya lebih memusingkan dari ulangan matematika. Jika matematika membuatku sakit kepala, keadaan ini membuatku tak tahu harus lakukan apa.
Badanku terasa menanggung gunung Semeru, berat sekali untuk menghampirinya lalu berkata
"Maafkan atas sikapku tadi, sekarang izinkan aku menghapus bulir-bulir di matamu," Ah kata itu hanya ada dalam lamunan tak mampu aku wujudkan menjadi kenyataan.
Bel masuk sekolah sudah berbunyi, laksana panggilan alam ia memberikan perintah untuk setiap siswa masuk kembali ke kelasnya. Sama hal dengan kelasku yang perlahan dimasuki para penghuninya. Dari jendela kulihat Cili menghapus airmatanya sendiri mungkin dia tak mau oranglain tahu.
Harusnya dia tak perlu bersusah payah menghapusnya airmatanya, harusnya itu tugas aku. Lebih tepatnya tugas seorang pria untuk menjaga airmata seorang wanita agar tak menetes karenanya.
Dengan berat hati, aku memaksa kaki untuk melangkah ke kelas. Sambil berjalan ku menundukan kepala tanpa satu katapun terucap ketika melewati bangku Cili. Aku tahu dia sempat melirik lalu sedetik kemudian membuang muka. Tempat dudukku tepat dibelakang Cili. Meski jarak kita sangat dekat namun pada kenyataannya ada tembok kokoh yang menjadi penghalang untuk kembali bertegur sapa.
"Lang, kamu kerasukan hantu penghuni WC ?" Romeo, teman sebangku-ku mulai mengawali pembicaraan.
"Engga," Aku menjawab singkat.
"Eh iya deh, mana ada hantu yang masuk ke badan kamu, Kamukan jarang mandi," Diringi tawa nyaring Romeo."
"Iya," masih menjawah pendek."
"Kamu kenapa sih Lang, tumben pendiam banget, jangan-jangan diam karena nahan kencing," masih diiringi tawa Romeo.
Tentu saja Romeo akan merasa aneh melihatku yang hanya diam. Biasanya kami saling mencela sebagai tanda persahabatan, memang aneh sih hinaan bisa saling mengakrabkan.
Kali ini Romeo menghentikan tawanya, dia meletakkan tanganya di dahiku.
"Wah, Lang kamu sepertinya sakit. Badanmu panas banget," Kali ini raut wajah Romeo berubah serius.
"Engga, biasa aja," aku menjawab seadanya. Memang sejak tadi bukan hanya perasaanku yang tak enak, badanku rasanya memiliki rasa yang sama.
Sepanjang jam pelajaran Romeo memilih diam, dia nampaknya sudah mengerti keadaanku sedang tak seperti biasanya. Tidak terasa jam pelajaran sudah usai. Harus kuakui tak ada satupun perkataan guru yang aku ingat selain ucapan salam.
Kelas mulai lenggang, satu persatu penghuni pergi. Aku masih terduduk tak bergeser walau satu inci. Begitupun dengan Cili, sudah beberapa menit kita saling berdiam diri tak mengucapkan satu katapun. Perlahan Cili mulai menggerakkan badannya lalu menatapku sebentar dan pergi meninggalkan kelas.
Nah lo... Nah lo...
ReplyDelete