Puzzle sebelumnya di sini
Di dunia ini hanya beberapa hal yang paling aku takuti, pertama tentu Tuhan, yang kedua mamah karena kalau melanggar nasibku akan sama seperti Malin Kundang, dan ketiga adalah Pak Herman. Selain sikapnya yang tegas terhadap segala bentuk pelanggaran siswa. Pak Herman juga adalah guru pelajaran yang paling aku takuti yaitu matematika. Entah ada apa dengan otakku ini selalu susah memahami matematika. Andai matematika semudah jatuh cinta pada dia, tentu aku sudah menjadi peraih nilai tertinggi.
Pernah di suatu hari, aku mendapatkan hukuman dari pak Herman. Di saat pelajarannya berlangsung, diri ini malah asyik dengan dunia mimpi. Ketika terbangun tak ada siapapun kecuali Pak Herman. Beliau berdehem ketika aku mulai tersadar sembari mengucek mata.
"Ehm, Ehm."
"Bapak, kok ada di sini. Inikan kamar saya," Masih dalam suasana ngantuk.
"Oh iya, saya yang salah masuk kamar kamu. Tapi coba kamu lihat keadaan sekitar."
Aku melihat sekeliling, berjajar bangku-bangku kosong tanpa penghuni. Aku baru sadar telah tertidur cukup lama di kelas sehingga lupa masih di sekolah. Wajahku memerah malu bukan kepalang dengan yang baru saja dilakukan. Pak Herman menatap sembari berkata
"Jadi kamu ada di mana sekarang Lang ? "
"Di sekolah Pak," Sembari nyengir kuda.
"Di sekolah kira-kita tempat apa Lang ? "
"Tidur Pak, eh maksudnya belajar."
"Tapi kok kamu malah tidur yah ?"
"Aku tidurnya sambil belajar kok Pak."
"Belajar apa ?"
"Belajar bermimpi, kan kata sebuah lagu mimpi adalah kunci untuk kita taklukan dunia."
"Bagus pendapat kamu,"
Dalam hati senang mendengar pujian dari Pak Herman, yang jarang sekali memuji. Mungkin aku anak terpilih yang mampu meluluhkan hatinya.
"Tapi lebih bagus jika kamu membersihkan kelas dulu," Seru Pak Herman dengan tegas.
Kali ini aku harus berurusan dengan Pak Herman lagi. Ah, tak apalah hukuman apapun yang kuterima aku siap menjalankan asal Cili tak ikut menerima hukuman. Kasihan dia, sudah aku berikan makanan yang membuat perutnya sakit bahkan hampir tak sadarkan diri. Benar-benar merasa bersalah apalagi ketika Pak Herman memergokiku berdua dengan Cili di lokasi yang lumayan jauh dari sekolah. Aku tahu Pak Herman akan berpikiran yang tidak-tidak, tapi apalah daya penjelasanku tak ada artinya.
Sakit perut yang dirasakan Cili harus membawanya ke ruang UKS sekolah. Jujur saja aku sangat cemas. Sepenuhnya bertanggungjawab dengan keadaan dia saat ini, tak lagi memperdulikan hukuman yang kudapat nanti, yang terpenting Cili sehat lagi. Akhirnya Cili kembali ke kelas dengan wajah lesu, dia tak mau menatapku. Di sisi lain aku bersyukur dia kembali sehat, di sisi lain juga tak enak melibatkannya ke dalam masalah ini.
Bel akhir pelajaran berbunyi, aku mencoba mendekati Cili untuk meminta maaf. Tapi sebelum kata maaf terucap, seseorang memanggil kami berdua untuk menghadap Pak Herman, perasaanku tiba-tiba tak enak.
Selama perjalanan menuju ruangannya, kami tak berbicara satu katapun, sebenarnya aku mau meminta maaf tapi rasanya bukan waktu yang tepat.
Tanpa senyum Pak Herman menyapa kami di ruang guru.
"Kalian tahu penyebab di panggil ke sini ?"
"Tahu Pak, saya melanggar aturan sekolah." Seruku tegas.
"Bukan kamu saja tapi seseorang di sampingmu juga." Pak Herman melirik Cili.
"Dia tak bersalah Pak, saya yang mengajaknya ke warung Ceu Oyom." Aku berkata sembari menunduk.
"Saya juga bersalah Pak, saya mau saja ikut dengannya padahal sebentar lagi Bel masuk." Cili berkata pelan.
"Kamu nggak bersalah Cili, aku aja." Pak Herman melirik kami berdua.
"Sudah diam kalian berdua. Sebagai konsekuensi karena melanggar peraturan, kalian berdua harus membersihkan seluruh toilet siswa." Pak Herman berkata tegas.
"Bagaimana kalau saya saja Pak," Sembari mengiba.
"Sudah kalian berdua, cepat sana sebelum bel pulang harus sudah beres."
Kami pun keluar dari ruangan guru menuju toilet siswa yang kadar baunya luarbiasa. Cili sempat hampir muntah mencium aroma luarbiasa itu.
"Sudah Cili, aku saja deh yang bersihkan," Cili tak menjawab sembari menutup hidungnya dia berusaha menyikat beberapa sudut toilet.
"Memang keterlaluan Pak Herman. Kamu kan lagi sakit masa dibiarkan ikut membersihkan toilet," Lagi-lagi Cili tak merespons obrolanku.
"Terbayang kalau Pak Herman di rumah pasti galaknya luarbiasa. Aku sih nggak mau jadi anaknya. Pasti diajarin matematika terus tiap hari sembari dimarahin," Aku mencoba mencairkan suasana.
"Aku anaknya Pak Herman," Seru Cili setengah berteriak.
Di dunia ini hanya beberapa hal yang paling aku takuti, pertama tentu Tuhan, yang kedua mamah karena kalau melanggar nasibku akan sama seperti Malin Kundang, dan ketiga adalah Pak Herman. Selain sikapnya yang tegas terhadap segala bentuk pelanggaran siswa. Pak Herman juga adalah guru pelajaran yang paling aku takuti yaitu matematika. Entah ada apa dengan otakku ini selalu susah memahami matematika. Andai matematika semudah jatuh cinta pada dia, tentu aku sudah menjadi peraih nilai tertinggi.
Pernah di suatu hari, aku mendapatkan hukuman dari pak Herman. Di saat pelajarannya berlangsung, diri ini malah asyik dengan dunia mimpi. Ketika terbangun tak ada siapapun kecuali Pak Herman. Beliau berdehem ketika aku mulai tersadar sembari mengucek mata.
"Ehm, Ehm."
"Bapak, kok ada di sini. Inikan kamar saya," Masih dalam suasana ngantuk.
"Oh iya, saya yang salah masuk kamar kamu. Tapi coba kamu lihat keadaan sekitar."
Aku melihat sekeliling, berjajar bangku-bangku kosong tanpa penghuni. Aku baru sadar telah tertidur cukup lama di kelas sehingga lupa masih di sekolah. Wajahku memerah malu bukan kepalang dengan yang baru saja dilakukan. Pak Herman menatap sembari berkata
"Jadi kamu ada di mana sekarang Lang ? "
"Di sekolah Pak," Sembari nyengir kuda.
"Di sekolah kira-kita tempat apa Lang ? "
"Tidur Pak, eh maksudnya belajar."
"Tapi kok kamu malah tidur yah ?"
"Aku tidurnya sambil belajar kok Pak."
"Belajar apa ?"
"Belajar bermimpi, kan kata sebuah lagu mimpi adalah kunci untuk kita taklukan dunia."
"Bagus pendapat kamu,"
Dalam hati senang mendengar pujian dari Pak Herman, yang jarang sekali memuji. Mungkin aku anak terpilih yang mampu meluluhkan hatinya.
"Tapi lebih bagus jika kamu membersihkan kelas dulu," Seru Pak Herman dengan tegas.
Kali ini aku harus berurusan dengan Pak Herman lagi. Ah, tak apalah hukuman apapun yang kuterima aku siap menjalankan asal Cili tak ikut menerima hukuman. Kasihan dia, sudah aku berikan makanan yang membuat perutnya sakit bahkan hampir tak sadarkan diri. Benar-benar merasa bersalah apalagi ketika Pak Herman memergokiku berdua dengan Cili di lokasi yang lumayan jauh dari sekolah. Aku tahu Pak Herman akan berpikiran yang tidak-tidak, tapi apalah daya penjelasanku tak ada artinya.
Sakit perut yang dirasakan Cili harus membawanya ke ruang UKS sekolah. Jujur saja aku sangat cemas. Sepenuhnya bertanggungjawab dengan keadaan dia saat ini, tak lagi memperdulikan hukuman yang kudapat nanti, yang terpenting Cili sehat lagi. Akhirnya Cili kembali ke kelas dengan wajah lesu, dia tak mau menatapku. Di sisi lain aku bersyukur dia kembali sehat, di sisi lain juga tak enak melibatkannya ke dalam masalah ini.
Bel akhir pelajaran berbunyi, aku mencoba mendekati Cili untuk meminta maaf. Tapi sebelum kata maaf terucap, seseorang memanggil kami berdua untuk menghadap Pak Herman, perasaanku tiba-tiba tak enak.
Selama perjalanan menuju ruangannya, kami tak berbicara satu katapun, sebenarnya aku mau meminta maaf tapi rasanya bukan waktu yang tepat.
Tanpa senyum Pak Herman menyapa kami di ruang guru.
"Kalian tahu penyebab di panggil ke sini ?"
"Tahu Pak, saya melanggar aturan sekolah." Seruku tegas.
"Bukan kamu saja tapi seseorang di sampingmu juga." Pak Herman melirik Cili.
"Dia tak bersalah Pak, saya yang mengajaknya ke warung Ceu Oyom." Aku berkata sembari menunduk.
"Saya juga bersalah Pak, saya mau saja ikut dengannya padahal sebentar lagi Bel masuk." Cili berkata pelan.
"Kamu nggak bersalah Cili, aku aja." Pak Herman melirik kami berdua.
"Sudah diam kalian berdua. Sebagai konsekuensi karena melanggar peraturan, kalian berdua harus membersihkan seluruh toilet siswa." Pak Herman berkata tegas.
"Bagaimana kalau saya saja Pak," Sembari mengiba.
"Sudah kalian berdua, cepat sana sebelum bel pulang harus sudah beres."
Kami pun keluar dari ruangan guru menuju toilet siswa yang kadar baunya luarbiasa. Cili sempat hampir muntah mencium aroma luarbiasa itu.
"Sudah Cili, aku saja deh yang bersihkan," Cili tak menjawab sembari menutup hidungnya dia berusaha menyikat beberapa sudut toilet.
"Memang keterlaluan Pak Herman. Kamu kan lagi sakit masa dibiarkan ikut membersihkan toilet," Lagi-lagi Cili tak merespons obrolanku.
"Terbayang kalau Pak Herman di rumah pasti galaknya luarbiasa. Aku sih nggak mau jadi anaknya. Pasti diajarin matematika terus tiap hari sembari dimarahin," Aku mencoba mencairkan suasana.
"Aku anaknya Pak Herman," Seru Cili setengah berteriak.
Nah loohh... Ati2 klo mau ngomongin guru, hahahaha
ReplyDelete