Sudah sejak lama aku mengidamkan seorang anak. Baru setelah lima tahun penantian, Allah mempercayakan seorang putra kepada keluarga kecil kami. Dia tumbuh layaknya anak kecil lainnya. Lincah berpadu dengan rasa ingin tahu yang tinggi menyatu dalam dirinya. Pernah suatu ketika di saat umurnya baru 3 bulan, dia hilang entah kemana. Ternyata sedang bermain bersama kucing. Dia terlalu gemes dengan hewan-hewan disekelilingnya bahkan seringkali tangannya penuh cakaran kucing.
Aku merasa bersyukur dikarunia buah hati sepertinya. Setidaknya dia menjadi alasan untuk tetap berjuang dalam kerasnya kehidupan. Bagaimana tidak, suamiku hanya seorang buruh bangunan lepas, gajihnya tak pernah tentu. Aku sekuat tenaga berusaha sekuat tenaga membantu dengan cara berjualan di tengah hutan, iya tengah hutan. Terkadang warungku menjadi persinggahan untuk para pemburu babi liar. Awalnya aku takut mendengar suara belasan anjing yang datang bersama pemburu, tapi tak ada kata takut demi menghidupi anakku.
Sering kali aku membawanya pergi berdagang meski harus melewati semak belukar, dia tak pernah rewel. Seakan mengerti dengan perjuangan yang sedang dilakukan ibunya. Lelah memang melakukan rutinintas seperti ini namun secara ajaib senyuman indah anakku menjadi obat paling mujarab untuk mengatasi lelah.
Umurnya sudah menginjak dua tahun, dia mulai bisa berkomunikasi meskipun masih terbata-bata
"Ama, ama Andi," dia berucap ingin segera mandi.
Ternyata dia berbeda dengan ayahnya yang selalu menolak jika aku suruh mandi.
"Nanti yah kalau udah di rumah," seruku.
Dia menggeleng dengan sengit. Apalah daya aku tak pernah bisa menolak permintaan pangeran kecilku ini. Kebetulan di sebelah warung ada pancuran air yang bisa dipakai mandi.
"Ama, ama nak ingin," Sembari tubuhnya bergetar dia ingin menyampaikan bahwa airnya enak karena dingin. Tawanya saat itu sangat manis.
"Bu kopi satu," dari kejauhan terdengar suara beberapa pemburu memesan kopi.
"Yuk De udahan mandinya," dia menggeleng masih asyik bermain dengan gayung.
"Yaudah mamah tinggal bentar ada yang beli."
"Ya ya ma," Dia membalas dengan anggukan diiringi tawa kecilnya.
Aku menuju warung untuk melayani Pembeli. Ada lima orang bapak-bapak yang memesan kopi hitam beserta mie rebus.
"Amaa, amaaa," samar-samar aku mendengar suara anakku berteriak. Sedetik kemudian mendengar beberapa suara anjing.
Aku berprasangka dia sedang melempar-lempar anjing dengan batu seperti yang biasanya dia lakukan namun kali ini berbeda.
Terasa disambar petir di siang bolong, anakku hilang entah kemana. Yang kulihat hanya sekumpulan anjing yang sedang berebut sesuatu.
"Ya Allah, Kepala anakku."
Aku merasa bersyukur dikarunia buah hati sepertinya. Setidaknya dia menjadi alasan untuk tetap berjuang dalam kerasnya kehidupan. Bagaimana tidak, suamiku hanya seorang buruh bangunan lepas, gajihnya tak pernah tentu. Aku sekuat tenaga berusaha sekuat tenaga membantu dengan cara berjualan di tengah hutan, iya tengah hutan. Terkadang warungku menjadi persinggahan untuk para pemburu babi liar. Awalnya aku takut mendengar suara belasan anjing yang datang bersama pemburu, tapi tak ada kata takut demi menghidupi anakku.
Sering kali aku membawanya pergi berdagang meski harus melewati semak belukar, dia tak pernah rewel. Seakan mengerti dengan perjuangan yang sedang dilakukan ibunya. Lelah memang melakukan rutinintas seperti ini namun secara ajaib senyuman indah anakku menjadi obat paling mujarab untuk mengatasi lelah.
Umurnya sudah menginjak dua tahun, dia mulai bisa berkomunikasi meskipun masih terbata-bata
"Ama, ama Andi," dia berucap ingin segera mandi.
Ternyata dia berbeda dengan ayahnya yang selalu menolak jika aku suruh mandi.
"Nanti yah kalau udah di rumah," seruku.
Dia menggeleng dengan sengit. Apalah daya aku tak pernah bisa menolak permintaan pangeran kecilku ini. Kebetulan di sebelah warung ada pancuran air yang bisa dipakai mandi.
"Ama, ama nak ingin," Sembari tubuhnya bergetar dia ingin menyampaikan bahwa airnya enak karena dingin. Tawanya saat itu sangat manis.
"Bu kopi satu," dari kejauhan terdengar suara beberapa pemburu memesan kopi.
"Yuk De udahan mandinya," dia menggeleng masih asyik bermain dengan gayung.
"Yaudah mamah tinggal bentar ada yang beli."
"Ya ya ma," Dia membalas dengan anggukan diiringi tawa kecilnya.
Aku menuju warung untuk melayani Pembeli. Ada lima orang bapak-bapak yang memesan kopi hitam beserta mie rebus.
"Amaa, amaaa," samar-samar aku mendengar suara anakku berteriak. Sedetik kemudian mendengar beberapa suara anjing.
Aku berprasangka dia sedang melempar-lempar anjing dengan batu seperti yang biasanya dia lakukan namun kali ini berbeda.
Terasa disambar petir di siang bolong, anakku hilang entah kemana. Yang kulihat hanya sekumpulan anjing yang sedang berebut sesuatu.
"Ya Allah, Kepala anakku."
Iiiissssshhh....
ReplyDelete