Orang-orang sedang sibuk dengan seragam putih abu disertai dasi dan topi berwarna senada. Mereka berkejaran dengan waktu, karena jika kalah adalah sebuah musibah. Sebelum lagu Indonesia raya berkumandang mereka berupaya sudah berbaris rapi menghadap sang merah putih.
Di saat yang sama aku masih berkutat dengan mimpi. Kata orang mimpi adalah awal kesuksesan. Tak ada salahnya berkutat lama-lama dengan mimpi.
"Gilaaaaaaaaang bangun. Kamu mau sekolah nggak ? " Seru perempuan yang menenteng sapu. Siap memukulku kapan saja.
Namaku Gilang, huruf "A"nya hanya satu tidak seperti yang mamahku ucapkan tadi. Aku anak pertama dari tiga bersaudara. Keluargaku cukup bahagia. Kenapa cukup ? karena yang berlebihan itu tidak baik. Mamah selalu berteriak setiap pagi. Hal itu sudah seperti siklus dalam hidupnya. Mamah selalu berkilah itu semua karena aku malas bangun untuk pergi sekolah.
Sejujurnya aku tidak malas sekolah. Hanya saja di sekolah tidak ada hal yang membuatku bersemangat kecuali bunyi bel istirahat dan pulang. Meskipun tidak bersemangat sekolah aku akan tetap memaksakan diri. Tak mau dikutuk sebagai anak durhaka yang menentang perintah orangtua. Tidak lucu juga kalau aku jadi cerita pengantar tidur untuk menakut-nakuti anak yang malas sekolah.
Dengan keadaan belum mandi, aku memaksakan diri pergi ke sekolah meskipun sudah tahu akan telat. Bukankah lebih baik telat daripada tidak sama sekali. Di tengah perjalanan bertemu teman lama yang satu profesi dalam segi bolos-membolos. Dia nampak sedang mengobrol di sebuah warung yang secara tidak resmi menjadi tempat nongkrong anak-anak satu ideologi.
"Lang, kamu bolos juga ?"
"Engga dong. Aku baru mau pergi sekolah."
"Yang bener aja. Jam pelajaran kedua udah mulai. Kamu baru datang."
"Biar aja Jhon, lebih baik telat daripada tidak sama sekali. " Aku menampilkan senyuman terbaik kemudian dibalas dengan tatapan aneh dari Jhon.
Jhon adalah teman satu kelasku. Dia terkenal karena dua hal. Yang pertama karena badannya yang tinggi. Yang kedua atas prestasinya sebagai siswa paling sering dipanggil guru BP. Bahkan dia pernah dipanggil 3 kali sehari persis seperti makan obat. Oh yah, nama aslinya bukan Jhon tapi Asep Suparlan, nama khas sunda. Dia ingin dipanggil Jhon agar terlihat seperti keturunan bule. Sekalipun dari struktur wajahnya kurang mendukung.
Aku melanjutkan perjalanan menuju sekolah. Baru beberapa langkah kaki, disebrang jalan aku melihat Romeo sedang berbincang dengan penjaga apotek. Aku mendekati sekadar menyapa.
"Hai Rom, kamu sedang apa di sini ? "
"Beli obat untuk ibu ?"
"Kamu ngga sekolah ? "
"Engga Lang, aku lagi jagain Ibu. Kamu ngga sekolah juga ? "
"Ini mau loh. Akukan rajin sekalipun telat."
"Ini bukan telat Lang tapi..." Tiba-tiba suara seorang perempuan penjaga apotek menyela.
"Jadi mau beli ngga nih obat ?"
"Mau teh, tapi uang saya kurang."
Aku langsung mengambil uang di saku dan memberikan kepada Romi lalu berkata
"Ambil aja kembaliannya Rom. Aku jalan kaki aja ke sekolah."
Romi mematung sembari tersenyum dan berucap terimakasih sambil berteriak
"Lang, uangnya masih kurang."
Romeo adalah sahabat baikku selain Jhon. Dia paling pintar diantara kami bertiga. Jika aku dan Jhon mendapatkan nilai 3 pada ulangan matematika maka Romeo selalu dapat lebih tinggi yaitu 3,5. Aku pernah bertanya kenapa namanya Romeo. Dia bercerita bahwa Ayahnya penggemar karya William Shakespeare. Ayahnya berharap dia menjadi sejantan Romeo yang akan melakukan apapun untuk orang yang dicinta. Nyatanya benar, Dia rela menggantikanku dihukum hormat bendera. Di saat aku pura-pura pingsan padahal melipir ke kantin jajan es kelapa. Romeo, kau lelaki jantan.
Beberapa menit berlalu akhirnya sampai di sekolah. Ratusan siswa nampak menenteng tas namun berjalan berlawanan arah denganku.
"Pak Satpam ini kok udah pada pulang lagi ?"
"Memang ini sudah waktunya pulang. Belajar hanya setengah hari. Guru-guru sedang rapat."
"Ah sayang sekali. Padahal aku sedang semangat sekolah."
"Semangat apa ? kamu datang di saat orang lain pulang."
"Yaudah aku ikut pulang deh."
"Budak lieur."
Aku memutuskan kembali ke rumah dan berharap esok akan menjadi hari yang menyenangkan di sekolah.
Di saat yang sama aku masih berkutat dengan mimpi. Kata orang mimpi adalah awal kesuksesan. Tak ada salahnya berkutat lama-lama dengan mimpi.
"Gilaaaaaaaaang bangun. Kamu mau sekolah nggak ? " Seru perempuan yang menenteng sapu. Siap memukulku kapan saja.
Namaku Gilang, huruf "A"nya hanya satu tidak seperti yang mamahku ucapkan tadi. Aku anak pertama dari tiga bersaudara. Keluargaku cukup bahagia. Kenapa cukup ? karena yang berlebihan itu tidak baik. Mamah selalu berteriak setiap pagi. Hal itu sudah seperti siklus dalam hidupnya. Mamah selalu berkilah itu semua karena aku malas bangun untuk pergi sekolah.
Sejujurnya aku tidak malas sekolah. Hanya saja di sekolah tidak ada hal yang membuatku bersemangat kecuali bunyi bel istirahat dan pulang. Meskipun tidak bersemangat sekolah aku akan tetap memaksakan diri. Tak mau dikutuk sebagai anak durhaka yang menentang perintah orangtua. Tidak lucu juga kalau aku jadi cerita pengantar tidur untuk menakut-nakuti anak yang malas sekolah.
Dengan keadaan belum mandi, aku memaksakan diri pergi ke sekolah meskipun sudah tahu akan telat. Bukankah lebih baik telat daripada tidak sama sekali. Di tengah perjalanan bertemu teman lama yang satu profesi dalam segi bolos-membolos. Dia nampak sedang mengobrol di sebuah warung yang secara tidak resmi menjadi tempat nongkrong anak-anak satu ideologi.
"Lang, kamu bolos juga ?"
"Engga dong. Aku baru mau pergi sekolah."
"Yang bener aja. Jam pelajaran kedua udah mulai. Kamu baru datang."
"Biar aja Jhon, lebih baik telat daripada tidak sama sekali. " Aku menampilkan senyuman terbaik kemudian dibalas dengan tatapan aneh dari Jhon.
Jhon adalah teman satu kelasku. Dia terkenal karena dua hal. Yang pertama karena badannya yang tinggi. Yang kedua atas prestasinya sebagai siswa paling sering dipanggil guru BP. Bahkan dia pernah dipanggil 3 kali sehari persis seperti makan obat. Oh yah, nama aslinya bukan Jhon tapi Asep Suparlan, nama khas sunda. Dia ingin dipanggil Jhon agar terlihat seperti keturunan bule. Sekalipun dari struktur wajahnya kurang mendukung.
Aku melanjutkan perjalanan menuju sekolah. Baru beberapa langkah kaki, disebrang jalan aku melihat Romeo sedang berbincang dengan penjaga apotek. Aku mendekati sekadar menyapa.
"Hai Rom, kamu sedang apa di sini ? "
"Beli obat untuk ibu ?"
"Kamu ngga sekolah ? "
"Engga Lang, aku lagi jagain Ibu. Kamu ngga sekolah juga ? "
"Ini mau loh. Akukan rajin sekalipun telat."
"Ini bukan telat Lang tapi..." Tiba-tiba suara seorang perempuan penjaga apotek menyela.
"Jadi mau beli ngga nih obat ?"
"Mau teh, tapi uang saya kurang."
Aku langsung mengambil uang di saku dan memberikan kepada Romi lalu berkata
"Ambil aja kembaliannya Rom. Aku jalan kaki aja ke sekolah."
Romi mematung sembari tersenyum dan berucap terimakasih sambil berteriak
"Lang, uangnya masih kurang."
Romeo adalah sahabat baikku selain Jhon. Dia paling pintar diantara kami bertiga. Jika aku dan Jhon mendapatkan nilai 3 pada ulangan matematika maka Romeo selalu dapat lebih tinggi yaitu 3,5. Aku pernah bertanya kenapa namanya Romeo. Dia bercerita bahwa Ayahnya penggemar karya William Shakespeare. Ayahnya berharap dia menjadi sejantan Romeo yang akan melakukan apapun untuk orang yang dicinta. Nyatanya benar, Dia rela menggantikanku dihukum hormat bendera. Di saat aku pura-pura pingsan padahal melipir ke kantin jajan es kelapa. Romeo, kau lelaki jantan.
Beberapa menit berlalu akhirnya sampai di sekolah. Ratusan siswa nampak menenteng tas namun berjalan berlawanan arah denganku.
"Pak Satpam ini kok udah pada pulang lagi ?"
"Memang ini sudah waktunya pulang. Belajar hanya setengah hari. Guru-guru sedang rapat."
"Ah sayang sekali. Padahal aku sedang semangat sekolah."
"Semangat apa ? kamu datang di saat orang lain pulang."
"Yaudah aku ikut pulang deh."
"Budak lieur."
Aku memutuskan kembali ke rumah dan berharap esok akan menjadi hari yang menyenangkan di sekolah.
Hhhaa... Parah.. Kacau..
ReplyDeleteHahaha..ngocol nih
ReplyDeleteWkwkwkwkwkwk.. Ngakak asli aku
ReplyDelete