Umurku sudah tak pantas disebut remaja, merengek minta uang jajan untuk beli pulsa. Aku bukan lagi anak SMA yang mendefinisikan bahagia dengan kata sederhana, semisal guru matematika lupa menanyakan PR logaritma. Makna bahagia semakin sulit dicipta, ketika umur sudah beranjak menua. berbagai keinginan seolah datang tiada henti. Hari ini ingin handphone berwarna merah, esok berganti ingin mobil mewah. Mencipta bahagia semakin rumit saja. Tetiba arti bahagia kembali menjadi sederhana, Di saat Handphone berdering penanda pesan dari si dia sudah tiba.
Aku Gilang, Pemuda yang sudah hidup selama 22 tahun. Setiap hari sibuk menukar waktu dengan kuliah dan kegiatan mengajar. Aku bukan pengajar ilmu sihir seperti dalam cerita Harry potter. Bukan juga Voldemort, sesosok makhluk yang penuh rasa percaya diri meski tanpa hidung.
"Pa Gil, Pa Gil," teriak seorang murid yang berlari menghampiri. Gadis remaja dengan jilbab putih tersenyum manis sembari mengulurkan tangan, lalu meraih tanganku untuk diletakan di dahinya. Ia bercerita lirih. Aku mencium bau curhat di sini. Dia bercerita tentang seorang pria yang mengirimkan puisi tanda cinta. Ia bingung menerima atau menolak cintanya. Sisi lain diriku berubah menjadi Mario Teguh berkata dengan pilihan diksi yang berima. Menyampaikan kepadanya lebih baik mengejar cita lalu sejenak mengabaikan cinta. Belum saatnya engkau menyapa cinta, Mungkin setelah disapa cinta yang kau punya, kemudian bisa saja cinta itu menusuk kemudian menimbulkan bekas luka. Ia mengangguk perlahan, berucap terimakasih lalu pergi memasuki kelasnya.
Sosok guru tak hanya dituntut mampu menyampaikan materi tapi harus menjadi wajan tempat menampung keluh-kesah siswa. Aku sempat merasa menjadi pria dewasa dengan beragam kata bijak untuk mengobati berbagai keluhan siswa. Tanpa diduga semua sifat lelakiku sirna. bertekuk lutut dihadapan seorang wanita. Ia mampu mencipta simpul senyum di wajahku begitupun sebaliknya.
Hari itu tak ada satupun pesan dari dia. Aku gusar tak tahu harus berbuat apa. Andai jika jarak di antara kami dekat, mungkin sudah mengetuk pintu rumahnya. Menanyakan pada Ibunya, apakah anaknya baik-baik saja ?
Beberap jam berlalu pesanku masih belum dibaca. Sifatku berubah drastis seperti anak remaja yang baru putus cinta. Belasan pesan WA aku kirim namun tak ada satupun berubah tanda menjadi dua ceklis berwarna biru. Rasa curiga datang tiba-tiba, berbisik mungkin saja dia sedang sibuk dengan pria idaman lain. Hati ini sudah terlampau panas hampir saja meledak jika tidak ada pesan balasan dari dia.
HPku berdering, pesan dari seseorang yang ku tunggu akhirnya tiba. Ku mulai mengeja mencermati setiap kata
" Aku jagain ponakan seharian. kalau dengan mereka nggak bisa pegang HP. maafkan yah sayang."
"Aku tak memaafkanmu, karena kau tega membuatku rindu."
Diri ini bergegas menghapus pesan di atas mengganti dengan kata lain yang lebih alay khas orang kasmaran. Merajuk bak anak kecil, meminta kasih sayang ibunya.
Di hadapanmu aku tak ubahnya bocah yang haus akan kasih sayang.
Aku Gilang, Pemuda yang sudah hidup selama 22 tahun. Setiap hari sibuk menukar waktu dengan kuliah dan kegiatan mengajar. Aku bukan pengajar ilmu sihir seperti dalam cerita Harry potter. Bukan juga Voldemort, sesosok makhluk yang penuh rasa percaya diri meski tanpa hidung.
"Pa Gil, Pa Gil," teriak seorang murid yang berlari menghampiri. Gadis remaja dengan jilbab putih tersenyum manis sembari mengulurkan tangan, lalu meraih tanganku untuk diletakan di dahinya. Ia bercerita lirih. Aku mencium bau curhat di sini. Dia bercerita tentang seorang pria yang mengirimkan puisi tanda cinta. Ia bingung menerima atau menolak cintanya. Sisi lain diriku berubah menjadi Mario Teguh berkata dengan pilihan diksi yang berima. Menyampaikan kepadanya lebih baik mengejar cita lalu sejenak mengabaikan cinta. Belum saatnya engkau menyapa cinta, Mungkin setelah disapa cinta yang kau punya, kemudian bisa saja cinta itu menusuk kemudian menimbulkan bekas luka. Ia mengangguk perlahan, berucap terimakasih lalu pergi memasuki kelasnya.
Sosok guru tak hanya dituntut mampu menyampaikan materi tapi harus menjadi wajan tempat menampung keluh-kesah siswa. Aku sempat merasa menjadi pria dewasa dengan beragam kata bijak untuk mengobati berbagai keluhan siswa. Tanpa diduga semua sifat lelakiku sirna. bertekuk lutut dihadapan seorang wanita. Ia mampu mencipta simpul senyum di wajahku begitupun sebaliknya.
Hari itu tak ada satupun pesan dari dia. Aku gusar tak tahu harus berbuat apa. Andai jika jarak di antara kami dekat, mungkin sudah mengetuk pintu rumahnya. Menanyakan pada Ibunya, apakah anaknya baik-baik saja ?
Beberap jam berlalu pesanku masih belum dibaca. Sifatku berubah drastis seperti anak remaja yang baru putus cinta. Belasan pesan WA aku kirim namun tak ada satupun berubah tanda menjadi dua ceklis berwarna biru. Rasa curiga datang tiba-tiba, berbisik mungkin saja dia sedang sibuk dengan pria idaman lain. Hati ini sudah terlampau panas hampir saja meledak jika tidak ada pesan balasan dari dia.
HPku berdering, pesan dari seseorang yang ku tunggu akhirnya tiba. Ku mulai mengeja mencermati setiap kata
" Aku jagain ponakan seharian. kalau dengan mereka nggak bisa pegang HP. maafkan yah sayang."
"Aku tak memaafkanmu, karena kau tega membuatku rindu."
Diri ini bergegas menghapus pesan di atas mengganti dengan kata lain yang lebih alay khas orang kasmaran. Merajuk bak anak kecil, meminta kasih sayang ibunya.
Di hadapanmu aku tak ubahnya bocah yang haus akan kasih sayang.
Ciee Kang Gilang yang LDR hahaha
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteCiee Kang Gilang yang LDR hahaha (2)
DeleteEh, nunggu pesan siapa nih? Bukan de Cili to?
ReplyDeleteEh, nunggu pesan siapa nih? Bukan de Cili to?
ReplyDelete