Saat aku menuliskan catatan sederhana ini. Sang waktu sudah menunjukan pukul 23:38 WIB. Semua sepakat bahwa detik ini akan segera berganti hitungan. Angka satu berubah menjadi dua di bulan Juni dalam hitungan masehi.
Tidak terasa waktu berputar begitu cepat laksana maling yang sedang dikejar warga karena mencuri ayam untuk bekal dia menghadapi bulan puasa. Ramadhan lalu beberapa orang terdekat denganku sudah dipanggil Allah lebih dahulu. Aku pun sama hanya menunggu giliran dipanggil Sang kuasa. Terkadang waktu begitu melenakan. Menyusun jutaan rencana duniawi sehingga aku lalai mempersiapkan bekal untuk dunia abadi setelah mati.
Empat tahun lalu. Aku hanya anak SMA yang tak terlalu mengerti makna hidup di dunia. Sekadar tahu belajar dengan baik agar bisa diterima di perguruan tinggi negeri untuk memudahkan mencari kerja nanti. Di penghujung masa kuliah. Barulah aku tersadar rencana-rencana dunia terlalu menjejali isi kepala. Setelah lulus kuliah diharuskan mencari kerja atau buka usaha. Setelah itu mencari sosok ibu untuk penerus keturunanku. Selanjutnya membesarkan mereka. Jika beruntung aku mampu melihat mereka menikah kemudian bangga dipanggil kakek.
Bisa juga sebelum semua itu terjadi ragaku sudah tiada. Segala kemungkinan masih bisa hadir tanpa diduga.
Maut tak mengenal batasan usia. Tua atau muda siap dia jemput kapan saja. Tiga hari lalu maut datang tanpa seorang pun kan menduga.
Tempatku mengajar merupakan yayasan Islami yang dipimpin oleh seorang Kyai. Hari minggu lalu. Kyai bersama santri (Sekaligus siswa tempatku mengajar) beserta rengrengan guru dan ibu-ibu pengajian berangkat berziarah ke suatu tempat. Tak banyak hanya enam angkutan kota, berjumlah sekitar 60 orang. Awalnya aku berniat ikut sekalian berwisata rohani karena suatu hal terpaksa membatalkannya.
Senin pagi semua berlalu seperti biasa. Membaca buku, menikmati sarapan sembari membuka media sosial. Tak diduga beberapa teman mengajar membuat status bela sungkawa. Aku penasaran mencoba mencari tahu. Inalillahi, salah satu rombongan ziarah tabrakan. Lima orang tewas seketika. Kebetulan juga menimpa mobil yang ditumpanginya Kyai. Semua penumpang yang duduk di depan tewas seketika termasuk supir. Penumpang yang berbeda dibelakang mengalami luka parah bahkan Kyai kakinya patah. Sungguh maut datang tak diduga.
Kyai dengan wajah sendu menahan sakit dan rasa bersalah, memulai memaparkan kronologi. Beliau awalnya duduk di samping supir namun kemudian pindah ke belakang menemani istrinya. Beberapa jam kemudian tabrakan maut menghampiri. Kematian begitu rahasia menghampiri siapa saja. Kita hanya menunggu giliran untuk dijemput Izrail. Kita berharap ketika Izrail datang menjemput. Kita sudah membawa sebaik-baiknya bekal yaitu keimanan dan takwa.
Tidak terasa waktu berputar begitu cepat laksana maling yang sedang dikejar warga karena mencuri ayam untuk bekal dia menghadapi bulan puasa. Ramadhan lalu beberapa orang terdekat denganku sudah dipanggil Allah lebih dahulu. Aku pun sama hanya menunggu giliran dipanggil Sang kuasa. Terkadang waktu begitu melenakan. Menyusun jutaan rencana duniawi sehingga aku lalai mempersiapkan bekal untuk dunia abadi setelah mati.
Empat tahun lalu. Aku hanya anak SMA yang tak terlalu mengerti makna hidup di dunia. Sekadar tahu belajar dengan baik agar bisa diterima di perguruan tinggi negeri untuk memudahkan mencari kerja nanti. Di penghujung masa kuliah. Barulah aku tersadar rencana-rencana dunia terlalu menjejali isi kepala. Setelah lulus kuliah diharuskan mencari kerja atau buka usaha. Setelah itu mencari sosok ibu untuk penerus keturunanku. Selanjutnya membesarkan mereka. Jika beruntung aku mampu melihat mereka menikah kemudian bangga dipanggil kakek.
Bisa juga sebelum semua itu terjadi ragaku sudah tiada. Segala kemungkinan masih bisa hadir tanpa diduga.
Maut tak mengenal batasan usia. Tua atau muda siap dia jemput kapan saja. Tiga hari lalu maut datang tanpa seorang pun kan menduga.
Tempatku mengajar merupakan yayasan Islami yang dipimpin oleh seorang Kyai. Hari minggu lalu. Kyai bersama santri (Sekaligus siswa tempatku mengajar) beserta rengrengan guru dan ibu-ibu pengajian berangkat berziarah ke suatu tempat. Tak banyak hanya enam angkutan kota, berjumlah sekitar 60 orang. Awalnya aku berniat ikut sekalian berwisata rohani karena suatu hal terpaksa membatalkannya.
Senin pagi semua berlalu seperti biasa. Membaca buku, menikmati sarapan sembari membuka media sosial. Tak diduga beberapa teman mengajar membuat status bela sungkawa. Aku penasaran mencoba mencari tahu. Inalillahi, salah satu rombongan ziarah tabrakan. Lima orang tewas seketika. Kebetulan juga menimpa mobil yang ditumpanginya Kyai. Semua penumpang yang duduk di depan tewas seketika termasuk supir. Penumpang yang berbeda dibelakang mengalami luka parah bahkan Kyai kakinya patah. Sungguh maut datang tak diduga.
Kyai dengan wajah sendu menahan sakit dan rasa bersalah, memulai memaparkan kronologi. Beliau awalnya duduk di samping supir namun kemudian pindah ke belakang menemani istrinya. Beberapa jam kemudian tabrakan maut menghampiri. Kematian begitu rahasia menghampiri siapa saja. Kita hanya menunggu giliran untuk dijemput Izrail. Kita berharap ketika Izrail datang menjemput. Kita sudah membawa sebaik-baiknya bekal yaitu keimanan dan takwa.
posted from Bloggeroid
Duh...ngomongin maut selalu bikin hati ciut.
ReplyDeleteSemoga kita dijemput dengan akhir yg baik, aamiin
ReplyDeleteMenyentuh sekali tulisannya a' semoga kita membawa sebaik baik bekal..
ReplyDeleteDuniawi boleh dicari tapi bekal mati sejatinya rizki 😇
kematian itu pasti
ReplyDeletetapi sering lalai mempersiapkan bekal untuk menjemputnya
semoga kita semua husnul khotimah, aamiin
ReplyDeletesemoga kita semua husnul khotimah, aamiin
ReplyDeleteAmin. Semoga 'dipanggil' dalam keadaan yang baik.
ReplyDelete