Hai pembaca. Selamat datang di cerbung jarak. Jika ada yang belum membaca jarak bagian sebelumnya tinggal klik
Jarak bagian kesatu
Jarak bagian kedua
Jarak bagian ketiga
jarak bagian keempat
Jarak bagian kelima
Jarak bagian keenam
Jarak bagian ketujuh
Selamat membaca
Dalam penantian penuh resah. Seorang perempuan berumur 30 tahun menatap pintu. Pandangan penuh makna menanti seseorang tiba. Tiga jam sudah berlalu, orang yang ditunggunya tak kunjung datang. Lelah telah dikalahkan rasa khawatir. Mata sayu gigih melawan kantuk, sisa tenaga ia gunakan untuk mempertahankan mata agar tidak tertutup.
Sebenarnya ia tak tega membiarkan anaknya mencari rupiah di tengah ganasnya jalanan. Ribuan rasa khawatir datang, ketika sang anak telat pulang. Ia sekuat tenaga saling bahu membahu dengan suaminya untuk membiayai ketiga anaknya. Namun sayang uang di tangan tidak mampu memenuhi segala kebutuhan.
Anak pertamanya berinisiatif membantu mencari rupiah meskipun harus dibayar lelah. Awalnya sang ibu berkata lantang tanda tak setuju. Keterpaksaan merobohkan prinsip teguh. Dengan airmata ia mengizinkan sang anak mengamen di jalanan, diselipkan berbagai syarat menyertai persetujuannya. Lafalan doa terucap selalu, menitipkan sang anak kepada sebaik-baiknya perlindungan.
Jam sudah menunjukan angka 12. Orang yang ia tunggu belum tiba juga. Khawatir semakin menjadi. Andai ia orang kaya akan dengan mudah menanyakan kabar. Sekedar memencet beberapa tombol, suara dari jauh sana menjawab. Tetapi jangankan membeli alat komunikasi, sekedar makan esok pun ia tak mampu. Lelah dan kantuk akhirnya mengalahkan tekad kuatnya. Perlahan matanya menutup. Perempuan dengan hati malaikat tertidur meninggalkan sejuta kekhwatiran untuk anaknya, Gilang.
Tepat pukul satu dini hari. Bocah kecil tanpa baju menyelinap masuk melewati pintu tak terkunci. Ia menatap dalam kepada ibunya. Tak terasa perlahan air mata menetes. Gilang sudah hafal sang ibu akan menunggu, menyambutnya dengan senyum. Menawari makan yang ia sisihkan dari jatahnya. Gilang pulang sangat terlambat hingga sang ibu terkantuk dalam penantiannya. Selimut penuh noda Gilang bawa, menutupi badan ibunya. Dingin pasti terasa, di berbagai celah rumahnya, angin dengan leluasa masuk.
Rumah yang terbuat dari beberapa papan disatukan. Terdapat dua ruangannya yang di sekat oleh tirai lusuh. Ia memasukinya menatap adik-adiknya yang sedang tertidur. Memakai baju dengan hiasan sobek di berbagai sisi.
Beberapa menit kemudian ibunya terbangun. Kembali melawan kantuk dan lelah untuk menyeritakan berbagai keresahan lewat salat tahajjud dan doa. Ia menyingkap tirai melihat anaknya terbaring lelah. Rasa bahagia datang, bersyukur anaknya kembali dengan selamat. Di balik baju bolongnya, ia melihat luka lebam yang memanjang. Khawatir kembali datang. Air hangat telah di siapkan. Di selingi tetesan mata, sang ibu berusaha mengobatinya luka lebam di perut anaknya.
Air mata malaikat kembali turun, bukti rasa sayang tanpa batas.
Jarak bagian kesatu
Jarak bagian kedua
Jarak bagian ketiga
jarak bagian keempat
Jarak bagian kelima
Jarak bagian keenam
Jarak bagian ketujuh
Selamat membaca
Dalam penantian penuh resah. Seorang perempuan berumur 30 tahun menatap pintu. Pandangan penuh makna menanti seseorang tiba. Tiga jam sudah berlalu, orang yang ditunggunya tak kunjung datang. Lelah telah dikalahkan rasa khawatir. Mata sayu gigih melawan kantuk, sisa tenaga ia gunakan untuk mempertahankan mata agar tidak tertutup.
Sebenarnya ia tak tega membiarkan anaknya mencari rupiah di tengah ganasnya jalanan. Ribuan rasa khawatir datang, ketika sang anak telat pulang. Ia sekuat tenaga saling bahu membahu dengan suaminya untuk membiayai ketiga anaknya. Namun sayang uang di tangan tidak mampu memenuhi segala kebutuhan.
Anak pertamanya berinisiatif membantu mencari rupiah meskipun harus dibayar lelah. Awalnya sang ibu berkata lantang tanda tak setuju. Keterpaksaan merobohkan prinsip teguh. Dengan airmata ia mengizinkan sang anak mengamen di jalanan, diselipkan berbagai syarat menyertai persetujuannya. Lafalan doa terucap selalu, menitipkan sang anak kepada sebaik-baiknya perlindungan.
Jam sudah menunjukan angka 12. Orang yang ia tunggu belum tiba juga. Khawatir semakin menjadi. Andai ia orang kaya akan dengan mudah menanyakan kabar. Sekedar memencet beberapa tombol, suara dari jauh sana menjawab. Tetapi jangankan membeli alat komunikasi, sekedar makan esok pun ia tak mampu. Lelah dan kantuk akhirnya mengalahkan tekad kuatnya. Perlahan matanya menutup. Perempuan dengan hati malaikat tertidur meninggalkan sejuta kekhwatiran untuk anaknya, Gilang.
Tepat pukul satu dini hari. Bocah kecil tanpa baju menyelinap masuk melewati pintu tak terkunci. Ia menatap dalam kepada ibunya. Tak terasa perlahan air mata menetes. Gilang sudah hafal sang ibu akan menunggu, menyambutnya dengan senyum. Menawari makan yang ia sisihkan dari jatahnya. Gilang pulang sangat terlambat hingga sang ibu terkantuk dalam penantiannya. Selimut penuh noda Gilang bawa, menutupi badan ibunya. Dingin pasti terasa, di berbagai celah rumahnya, angin dengan leluasa masuk.
Rumah yang terbuat dari beberapa papan disatukan. Terdapat dua ruangannya yang di sekat oleh tirai lusuh. Ia memasukinya menatap adik-adiknya yang sedang tertidur. Memakai baju dengan hiasan sobek di berbagai sisi.
Beberapa menit kemudian ibunya terbangun. Kembali melawan kantuk dan lelah untuk menyeritakan berbagai keresahan lewat salat tahajjud dan doa. Ia menyingkap tirai melihat anaknya terbaring lelah. Rasa bahagia datang, bersyukur anaknya kembali dengan selamat. Di balik baju bolongnya, ia melihat luka lebam yang memanjang. Khawatir kembali datang. Air hangat telah di siapkan. Di selingi tetesan mata, sang ibu berusaha mengobatinya luka lebam di perut anaknya.
Air mata malaikat kembali turun, bukti rasa sayang tanpa batas.
Sudah pulang, naik truk kemarin yaa.. si jema...?
ReplyDeleteDan malaikat pun memeluk mereka dalam dekapan penuh keberkahan, berusaha menyampaikan bahagia yang menunggu disana.
Ibu...sosok yang selalu mengerti kondisi kita.
ReplyDeleteAku pikir bakal byasar lo setelah numpang truk..syukurlah pulang kembali. Ngeri membayangkan jika bertemu lagi dengan preman.
ReplyDeleteEh, belum makan yak tadi.. Kasihan, tidur dalam kelaparan...
ReplyDeleteMelow banget...
ReplyDeletenasib Jama gimana??
Hmm, ditunggu lanjutannyaa
ReplyDeleteBahasanya enak banget dinikmati bang,
ReplyDeletePulang naik truk jadi lebam yaa si gilang,
Ibu selalu menjadi malaikat tanpa sayap yang Allah berikan kepada setiap umatnya 😊
Pahlawan tanpa tanda jasa.. Dialah ibu..
ReplyDeleteKeren...
ReplyDeleteKarakter tulisan Bang Gilang ini benar2 menyentuh sisi emosional pembaca.
Dan sungguh Malaikat itu bernama 'Ibu'
Good job deh 👍
Keren...
ReplyDeleteKarakter tulisan Bang Gilang ini benar2 menyentuh sisi emosional pembaca.
Dan sungguh Malaikat itu bernama 'Ibu'
Good job deh 👍
Sedih
ReplyDeleteMengiris-iris perasaan pembaca,
ReplyDeleteSedih membayangkannya
ReplyDeleteAir mataku hampir keluar bacanya
ReplyDeleteAku tersayat, Kang. :(
ReplyDelete