Hai pembaca. Selamat datang di cerbung jarak. Jika ada yang belum membaca jarak bagian sebelumnya tinggal klik
Jarak bagian kesatu
Jarak bagian kedua
Jarak bagian ketiga
jarak bagian keempat
Jarak bagian kelima
Jarak bagian keenam
Jarak bagian ketujuh
Selamat membaca
Cadangan energi diubah menjadi tenaga untuk memacu kaki berlari. Dua bocah kecil menebas gelapnya malam dengan sisa napas terbatasnya. Di sisi tergelap stasiun, mereka mengistirahatkan kaki untuk sejenak berhenti berlari.
"Lang, kamu nggak luka kan ?."
"Paling hanya memar Jem di sekitar perut. Tendanganya kencang banget. Aku lebih khawatir ke kamu," Melirik tangan Jem yang berlumuran darah, bekas menusuk preman yang hendak memalak mereka.
200 meter dari tempat Gilang dan Jama bersembunyi. Seorang preman terkapar dengan darah di sekitar perutnya. Teman-temannya nampak panik, memapahnya ke suatu tempat. Berapa kali mereka terjatuh karena yang membantunya pun masih dalam pengaruh alkohol.
Teriakan bernada kebun binatang terlontar dari mulut preman yang sedang terluka. Mengucapkan sumpah serapah bagi Gilang dan Jama.
"Sialan mereka, gue nggak biarin dua bocah itu hidup," sembari setengah merintih.
"Tenang Bos, aku akan cari bocah sialan itu. Pasti masih berada sekitar sini," pria kekar menyapu pandangan. Melihat bercak darah yang memberikan petunjuk ke suatu tempat, tempat dua bocah itu berada. Ia adalah satu-satunya preman yang tidak dipengaruhi alkohol. Gilang sempat terkapar oleh tendangannya.
Bercak darah memandu langkah demi langkah, pria berotot merasa menemukan dua bocah yang sudah menusuk bosnya. Mata pria kekar itu terfokus melihat dua bayangan sedang bersembunyi di semak samping rel kereta. Tak ragu, ia menghampiri dengan memasang muka paling marah sembari mengepalkan kedua lengannya. Bersiap memukul hingga tak ada lagi kata selain sakit yang dirasa oleh mereka.
Pria kekar semakin mendekati semak. Memasang kuda-kuda untuk melesatkan pukulan paling mematikan.
"Buuuug," lesatan pukulan hanya mengenai angin, pria kekar itu terjatuh hilang keseimbangan. Ia memandangi dua baju yang digantungkan di atas semak. Mukanya menyiratkan kegeraman.
Truk pengangkut sapi berjalan tertatih, terlihat peluh membawa belasan sapi bersama dua bocah penyusup yang tak berbaju.
Masalah malam ini, memang berakhir. Tapi menjadi awal pemantik api yang lebih besar.
Jarak bagian kesatu
Jarak bagian kedua
Jarak bagian ketiga
jarak bagian keempat
Jarak bagian kelima
Jarak bagian keenam
Jarak bagian ketujuh
Selamat membaca
Cadangan energi diubah menjadi tenaga untuk memacu kaki berlari. Dua bocah kecil menebas gelapnya malam dengan sisa napas terbatasnya. Di sisi tergelap stasiun, mereka mengistirahatkan kaki untuk sejenak berhenti berlari.
"Lang, kamu nggak luka kan ?."
"Paling hanya memar Jem di sekitar perut. Tendanganya kencang banget. Aku lebih khawatir ke kamu," Melirik tangan Jem yang berlumuran darah, bekas menusuk preman yang hendak memalak mereka.
200 meter dari tempat Gilang dan Jama bersembunyi. Seorang preman terkapar dengan darah di sekitar perutnya. Teman-temannya nampak panik, memapahnya ke suatu tempat. Berapa kali mereka terjatuh karena yang membantunya pun masih dalam pengaruh alkohol.
Teriakan bernada kebun binatang terlontar dari mulut preman yang sedang terluka. Mengucapkan sumpah serapah bagi Gilang dan Jama.
"Sialan mereka, gue nggak biarin dua bocah itu hidup," sembari setengah merintih.
"Tenang Bos, aku akan cari bocah sialan itu. Pasti masih berada sekitar sini," pria kekar menyapu pandangan. Melihat bercak darah yang memberikan petunjuk ke suatu tempat, tempat dua bocah itu berada. Ia adalah satu-satunya preman yang tidak dipengaruhi alkohol. Gilang sempat terkapar oleh tendangannya.
Bercak darah memandu langkah demi langkah, pria berotot merasa menemukan dua bocah yang sudah menusuk bosnya. Mata pria kekar itu terfokus melihat dua bayangan sedang bersembunyi di semak samping rel kereta. Tak ragu, ia menghampiri dengan memasang muka paling marah sembari mengepalkan kedua lengannya. Bersiap memukul hingga tak ada lagi kata selain sakit yang dirasa oleh mereka.
Pria kekar semakin mendekati semak. Memasang kuda-kuda untuk melesatkan pukulan paling mematikan.
"Buuuug," lesatan pukulan hanya mengenai angin, pria kekar itu terjatuh hilang keseimbangan. Ia memandangi dua baju yang digantungkan di atas semak. Mukanya menyiratkan kegeraman.
Truk pengangkut sapi berjalan tertatih, terlihat peluh membawa belasan sapi bersama dua bocah penyusup yang tak berbaju.
Masalah malam ini, memang berakhir. Tapi menjadi awal pemantik api yang lebih besar.
posted from Bloggeroid
agak serem baca kelanjutannya nanti kayak apa huhuhu kasian bocahnya
ReplyDeleteKerasnya kehidupan jalanan..
ReplyDeleteAsyik ya bisa menggambarkan suasana perkelahian dengan baik. Jadi ikut larut dlm suasana itu.
ReplyDeleteDasar dua bocoh... Idennya cemerlang juga...
ReplyDeleteWah, cerdik sekali dua bocah itu, atau mungkin penulisnya, hehe
ReplyDeleteBocah badung tapi keren pisan.
ReplyDeleteNgeri aku bayanginnya
ReplyDeleteTerbawa dalam cerita, seruu tp menegangkan,
ReplyDeleteIkut deg-degan Lang. Serasa kembali ke jalanan saya.
ReplyDeleteSerem juga, ya... hehe
ReplyDeleteMenantang,. Serial aksi. Like
ReplyDeleteBajunya buat ngelap darah, ya?
ReplyDelete