Hai pembaca. Selamat datang di cerbung jarak. Jika ada yang belum membaca jarak bagian sebelumnya tinggal klik
Jarak bagian kesatu
Jarak bagian kedua
Jarak bagian ketiga
jarak bagian keempat
Jarak bagian kelima
Jarak bagian keenam
Jarak bagian ketujuh
Selamat membaca
Gelap sudah tumbang beberapa menit lalu. Menyisakan sang surya yang malu-malu muncul di pelupuk langit. Mengisyaratkan manusia untuk memulai aktivitasnya. Di sepanjang jalan beragam orang berlomba bergegas. Mobil pribadi, angkot, ojeg dan bahkan pengendara motor curian saling berpacu dengan waktu, menjemput rezeki yang sudah Tuhan tetapkan.
Gubuk tua dengan lima penghuni di dalamnya. Merasakan kondisi yang sama untuk bergegas memulai aktivitas. Ayahnya telah bersiap dengan segala peralatan tukang. Ada proyek pembangunan perumahan yang membutuhkan ratusan pegawai, ia berminat mengajukan diri menjadi salah satunya. Ibu bersama kedua adiknya sibuk menyiapkan dagangan, berkeliling menjajakan makanan tradisional.
Raut ceria terpancar dari kedua wajah adiknya, Dika dan Putra. Dika yang kini berusia empat tahun dan Putra selisih satu tahun di bawah Dika. Mereka sudah terlatih dengan berlelah-lelah. Berdagang keliling tak semudah seperti yang dilihat. Berjalan belasan Kilometer menjadi keharusan setiap hari. Kaki mungil dipaksa memaksimalkan langkah. Ibu sempat melarang agar mereka tak ikut berdagang, lebih baik jaga rumah saja. Mereka merengek merajuk untuk ikut. Ibu luluh, menganggukan kepala.
Laksana pelayan minimarket, Dika begitu cekatan melayani pelanggan yang rata-rata ibu-ibu. Putra memiliki peran lain, menerima uang hasil berdagang. Sesekali menghitungnya dengan urutan tidak jelas, dari seribu melompat ke seratus ribu. Sang ibu tersenyum melihat tingkah lucu anak-anaknya. Jika tidak ada ketiga buah hatinya, kata kuat dan tabah sudah menguap sejak dulu kala.
Di sisi lain Gilang berjalan kaki menuju sekolah. Luka lebam di sekitar perutnya masih belum sembuh. Ia telat berangkat sekolah. Menambah kecepatan lari. Di depannya, anak SD seusianya berlari juga. Laksana chetah yang mengejar mangsa, Gilang memindahkan seluruh tenaga ke kaki. Melesat mendahului anak di depannya. Pintu gerbang hampir ditutup, namun beruntung Gilang masih bisa memasuki sekolah di detik terakhirnya. Berbeda hal dengan anak di belakangnya yang terpaksa menjalankan hukuman terlebih dahulu sebelum bisa memasuki sekolah.
Teguh menjitak Gilang. Protes karena merasa harusnya mereka berdua dihukum bersama. Gilang tertawa, Teguh juga tertawa diiringi gerakan tangan menyikut perut Gilang.
"Lu lemah Lang, disikut sedikit aja mengaduh sakit," Teguh kembali tertawa.
Gilang akhirnya menceritakan kejadian kemarin. Muka Teguh nampak serius. Beberapa kali tangannya mengepal tanda kesal. Tadi malam Gilang dan Jama sekuat tenaga mencari cara menghindari kumpulan preman yang memalaknya. Akhirnya Jama terpaksa menusuk preman itu.
"Lalu, Lang di mana Jama sekarang ?"
"Paling ia sudah di kelas. Sibuk menyalin PR," Gilang menjawab sederhana. Mereka kembali tertawa lagi.
Perkataan yang Gilang ujarkan kali ini meleset. Jama tidak masuk sekolah sekalipun Bu Mey sudah memulai pelajarannya. Fika pun menangkap keanehan di wajah Gilang dan Teguh. Mereka berdua diselimuti rasa cemas. Berharap tidak terjadi apa-apa dengan Jama. Ternyata masalahnya tak sederhana itu. Jama dalam kondisi yang jauh dari kata baik.
Jarak bagian kesatu
Jarak bagian kedua
Jarak bagian ketiga
jarak bagian keempat
Jarak bagian kelima
Jarak bagian keenam
Jarak bagian ketujuh
Selamat membaca
Gelap sudah tumbang beberapa menit lalu. Menyisakan sang surya yang malu-malu muncul di pelupuk langit. Mengisyaratkan manusia untuk memulai aktivitasnya. Di sepanjang jalan beragam orang berlomba bergegas. Mobil pribadi, angkot, ojeg dan bahkan pengendara motor curian saling berpacu dengan waktu, menjemput rezeki yang sudah Tuhan tetapkan.
Gubuk tua dengan lima penghuni di dalamnya. Merasakan kondisi yang sama untuk bergegas memulai aktivitas. Ayahnya telah bersiap dengan segala peralatan tukang. Ada proyek pembangunan perumahan yang membutuhkan ratusan pegawai, ia berminat mengajukan diri menjadi salah satunya. Ibu bersama kedua adiknya sibuk menyiapkan dagangan, berkeliling menjajakan makanan tradisional.
Raut ceria terpancar dari kedua wajah adiknya, Dika dan Putra. Dika yang kini berusia empat tahun dan Putra selisih satu tahun di bawah Dika. Mereka sudah terlatih dengan berlelah-lelah. Berdagang keliling tak semudah seperti yang dilihat. Berjalan belasan Kilometer menjadi keharusan setiap hari. Kaki mungil dipaksa memaksimalkan langkah. Ibu sempat melarang agar mereka tak ikut berdagang, lebih baik jaga rumah saja. Mereka merengek merajuk untuk ikut. Ibu luluh, menganggukan kepala.
Laksana pelayan minimarket, Dika begitu cekatan melayani pelanggan yang rata-rata ibu-ibu. Putra memiliki peran lain, menerima uang hasil berdagang. Sesekali menghitungnya dengan urutan tidak jelas, dari seribu melompat ke seratus ribu. Sang ibu tersenyum melihat tingkah lucu anak-anaknya. Jika tidak ada ketiga buah hatinya, kata kuat dan tabah sudah menguap sejak dulu kala.
Di sisi lain Gilang berjalan kaki menuju sekolah. Luka lebam di sekitar perutnya masih belum sembuh. Ia telat berangkat sekolah. Menambah kecepatan lari. Di depannya, anak SD seusianya berlari juga. Laksana chetah yang mengejar mangsa, Gilang memindahkan seluruh tenaga ke kaki. Melesat mendahului anak di depannya. Pintu gerbang hampir ditutup, namun beruntung Gilang masih bisa memasuki sekolah di detik terakhirnya. Berbeda hal dengan anak di belakangnya yang terpaksa menjalankan hukuman terlebih dahulu sebelum bisa memasuki sekolah.
Teguh menjitak Gilang. Protes karena merasa harusnya mereka berdua dihukum bersama. Gilang tertawa, Teguh juga tertawa diiringi gerakan tangan menyikut perut Gilang.
"Lu lemah Lang, disikut sedikit aja mengaduh sakit," Teguh kembali tertawa.
Gilang akhirnya menceritakan kejadian kemarin. Muka Teguh nampak serius. Beberapa kali tangannya mengepal tanda kesal. Tadi malam Gilang dan Jama sekuat tenaga mencari cara menghindari kumpulan preman yang memalaknya. Akhirnya Jama terpaksa menusuk preman itu.
"Lalu, Lang di mana Jama sekarang ?"
"Paling ia sudah di kelas. Sibuk menyalin PR," Gilang menjawab sederhana. Mereka kembali tertawa lagi.
Perkataan yang Gilang ujarkan kali ini meleset. Jama tidak masuk sekolah sekalipun Bu Mey sudah memulai pelajarannya. Fika pun menangkap keanehan di wajah Gilang dan Teguh. Mereka berdua diselimuti rasa cemas. Berharap tidak terjadi apa-apa dengan Jama. Ternyata masalahnya tak sederhana itu. Jama dalam kondisi yang jauh dari kata baik.
menelusuri jejak-jejak penuh romantika..
ReplyDeletemengasyikkan...
Jama kemana? Aduuh, ikut khawatir nih
ReplyDeleteSempat-sempatnya nyelipkan 'imajinasi' pengendara motor curian. Humormu ndak ketinggalan kali ini mas.
ReplyDeleteHhhaa... Iya, kenapa motor curian ikut ngeksis coba, ckckcck
ReplyDeleteHhhaa... Iya, kenapa motor curian ikut ngeksis coba, ckckck
ReplyDeleteEh Jama kenapa???
ReplyDeleteMenunggu lanjutannya...
Diksinya selalu memainkan imajinasi dan perasann...keren deh Bang gilang..
ReplyDeletepenasaran ..
ReplyDeleteSalam buat bu Mey ya Lang ...
ReplyDeleteTulisan aa selalu bikin saya kebawa alur.
Kata-katamu keren Bang,, kalah aku deh
ReplyDeleteGak komen apa-apa..
ReplyDeletecukup jadi pembaca setia :)
*padahal sdh komen
Baper bacanya. :')
ReplyDeleteJama dikejar preman ya. :(