Deretan kursi berjajar
rapi menemani pejuang ilmu yang sedang mencari pengetahuan baru. Satu jam sudah
pembelajaran berlangsung, tak kurang ribuan kata terlontar menceritakan kisah
Siti Nurbaya dari seorang dosen cantik nan berwibawa bernama Ika Mustika.
Sebagian besar mahasiswa memerhatikan setiap kata dengan saksama, sebagian lagi
berkelana dalam dunia khayalnya. Gilang adalah salah satunya, sesuatu masalah sedang menggangu pikirannya. Bayangan
akan masa lalu menembus batas ruang dan waktu. Sekatan tembok tebal di
kampusnya tak mampu menghentikan goresan kenangan yang sedang ia pikirkan.
Tiga tahun sudah
Bandung menjadi tempat rantaunya. Tanah Pasundan laksana Surga di sisi lain
dunia, menawarkan segala bentuk kenikmatan dari makanan hingga pendidikan. Seharusnya
tak ada alasan untuk berkata tidak nyaman namun tiga bulan lalu alasan itu
hadir. Gilang resah raganya ingin meninggalkan “Surga” menjemput seseorang yang
selalu ahli sebagai penghilang sepi.
18 tahun bukan waktu
yang singkat untuk memahat kenangan. Tempatnya lahir, Padang menggoreskan banyak sejarah, tak
hanya melahirkan Hamka, sang maestro sastra dengan karya melegenda. Kota rendang
menghadirkan kisah cinta khas remaja. Terpisah jarak sejauh 1.470,6 KM
menciptakan kata yaitu rindu. Enam bulan lalu surat tak biasa datang
menghampiri Gilang. Zaman boleh saja maju tapi untuk urusan cinta ia lebih suka
hal-hal peninggalan masa lalu, merawat rindu melalui surat cinta dengan
seseorang yang jauh di mata. Ia tak suka kepraktisan media sosial dalam
mengumbar kerinduan.
Surat dengan nama
pengirim Kirai sudah dipegangya, sedetik kemudian ia tersenyum, lima menit
kemudian kelopak mata mengeluarkan titik sedihnya. Kirai, sosok perempuan yang
sangat ia kenal. Tak hanya kenal sebagian hatinya ia titipkan.
Lamunan masih menghanyutkan pikiran. Kisah Siti Nurbaya yang diceritakan Bu Ika tak Gilang dengarkan, ia
sudah tahu cerita sastra itu yang telah menjelma menjadi kisah Kirai dan
dirinya. Surat yang menceritakan perjodohan Kirai dengan seseorang dari tanah
Jawa masih dipegangnya. Keresahan hati ia simpan rapat-rapat tak ada orang yang
tahu kecuali dirinya dan Tuhan. Tiga hari lagi Kirainya akan dimiliki orang lain.
Tuhan
menghadirkan banyak masalah untuk menguji ketakwaan hambanya, ujian terberat
bagi Gilang yang berada di dua persimpangan. Menjemput cintanya atau melarikan
diri melupakan cinta yang sudah bertahun-tahun dijalani. Satu pilihan sudah Gilang
tentukan, meminta izin kepada Bu Ika untuk menjemput Siti Nurbayanya.
Perjalanan
Bandung-Padang kali ini terasa panjang. Burung besi yang ia tumpangi
menghadirkan pemandangan indah, mata ia palingkan ke jendela melihat gumpalan
awan yang seolah melukiskan wajah Kirai. Gilang tak menghiraukan seseorang di
sampingnya yang sejak tadi memperhatikan dirinya. Suara sopan seorang pria
memulai percakapan.
“Mas, sejak tadi
melihat jendela. Ada seseorang yang dirindu yah?,” Gilang hanya menjawab dengan
anggukan kepala.
“Perkenalkan Nama saya
Rais, saya sama seperti Mas merindukan seseorang juga,” Rais mencoba
mengakrabkan diri sembari mengulurkan tangan.
“Nama saya Gilang,”
jawaban singkat selalu terlontar dari mulut Gilang, pikirannya sudah tak ada di
pesawat, melayang jauh ke sudut lain kota Padang berharap Kirai menolak
keinginan orangtuanya.
Burung besi akhirnya
mendarat, Rais berpamitan dibalas oleh anggukan. Hati Gilang sudah tak jelas
bentuknya. Ia ingin segera menemui Kirai untuk menanyakan kelanjutan kisah cinta
mereka.
Undangan bermotif merah
menyambut kedatangan Gilang di rumahnya, entah sudah seperti apa bentuk
hatinya. Lebih dari remuk jika menatap wajahnya, esok kirai akan bersanding
dengan seseorang. Kesedihan harus segera Gilang hilangkan berganti keikhlasan
untuk menerima kenyataan.
Di persimpangan jalan
rumah Kirai, janur kuning berdiri tegak nan gagah. Pernikahan mewah dan
bersejarah akan dilangsungkan. Langkah pelan disertai kesabaran dalam setiap
jejaknya menuju panggung keikhlasan tempat Kirai bersanding dengan suaminya. Hanya menundukan
wajah yang Gilang bisa lakukan, berharap pemandangan di depan mata sekedar ilusi saja. Ini semua nyata. Seseorang yang menjadi suami Kirai, sehari
lalu tepat berada di sampingnya dalam pesawat menuju Padang. Rais dan Kirai
menjadi pasangan halal yang harus Gilang pandang.
Itu jaraknya sampai ada koma2 nya ya...:D
ReplyDelete(Malas komentar soal cerita. Selalu keren khas bang gilang. Hihihi)
jaraknya dhitung dgn njlelimet, makanya pake koma, hehehe, kereeen pkok e
ReplyDeletejaraknya dhitung dgn njlelimet, makanya pake koma, hehehe, kereeen pkok e
ReplyDeleteKisah Siti Nurbaya yang selalu menghantui setiap pasangan kekasih.
ReplyDeleteKisah Gilang selalu membuatku kepo. Kisah nyata kah?
ReplyDeleteBerhasil membuat sy menghayal
ReplyDeleteEnding ketebak. :D
ReplyDeleteAndai dilengkapi dengan sedikit deskripsi tentang Kirai yang mengenakan sunting, pasti lebih keren.
Tapi tetep dan selalu keren kok tulisannya. ^^
Ahh bang gilang... Pengen denger cerita yang happy ending dong...
ReplyDeleteKebawa sedih ini...hiksss
Versi lain dari Zainuddin dan Hayati...
ReplyDeleteLagi2 endingnya sad ... Hmn... Teruslah dgn kegalauanmu bang... Ha...
Awalnya saya pikir 'Kirai' itu ada hubungannya dengan hal-hal yang berbau Jepang. Karena mirip seperti bahasa Jepang. he3x..
ReplyDeleteKisahnya sedih. Ini non-fiksi kah?
Hayooo tebak hehe
DeleteAhlinya tulisan baperrr... saya mah mending nggak usah datang...
ReplyDeleteAhlinya tulisan baperrr... saya mah mending nggak usah datang...
ReplyDeleteHeuu...aa gilang pakar cerita baper :-|
ReplyDeleteGilang emg jagonya membuat ide yg beginian.
ReplyDelete1.405,6
ReplyDeleteIni diukur, Lang?
Diukur dengan google map hihi
Delete