Sebelum membaca tulisan ini. Dianjurkan membaca bagian pertamanya dari jarak
Tempat yang tak pernah mengenal sepi akhirnya berhasil dikunjungi setelah berjibaku dengan kemacetan panjang, fenomena biasa bagi 250 juta lebih penduduk Indonesia. Tak mudah mengelola bangsa dengan peringkat keempat penduduk terbanyak di dunia, perlu kesabaran serta ilmu bijaksana luarbiasa untuk merangkul ribuan suku tanpa mengakibatkan konflik. Beda kepala beda juga pemikiran manusia, jangan sampai saling sikut untuk berebut isi perut.
Pendidikan dan kesehatan, kebutuhan primer manusia. Tercermin dari antrian yang sudah mencapai deret 600, sekalipun waktu baru menyentuh pukul 7 pagi. Jas putih sudah aku kenakan sedari tadi, kaki bergegas menuju ruangan bertulisan poli psikiatri. Pasien dengan raut wajah istimewa selalu saja aku temui, pandangan kosong tanpa ekspresi seolah menyimpan masalah dengan berat berton-ton.
Tamu pertama menghampiri, seorang gadis kecil berumur 10 tahun dengan jilbab motif bunga yang memesona, sulit untuk menahan diri agar tangan tak mencubit pipinya. Sudah tiga kali ibunya Dewi berkonsultasi tentang “Kelebihan” putrinya yang mengkhwatirkan. Segala kemungkinan dari data yang sudah aku kumpulkan merujuk kepada satu kesimpulan. Dewi terserang penyakit skizofrenia, penyakit psikologis yang menyerang fungsi sistematik dan impuls syaraf otak. Kondisi ini mengakibatkan kegagalan fungsi otak dalam mengolah informasi dari dan ke panca indera, sehingga timbul proyeksi yang tidak seharusnya.
Perkataan menyakitkan sering diterima ibu dari gadis lucu itu. Kebanyakan orang menganggap Dewi gila. Menyendiri di sudut pohon besar seolah berbicara dengan seseorang sembari tertawa, semenit kemudian menangis. Di balik sikap istimewanya tersimpan sesuatu hal yang sulit dimengerti orang lain. Secara kasat mata tak ada yang berbeda dari anak kecil seumurannya, pembeda paling nyata terlihat dari luka di sekitar tangan dan kaki. Ibunya bercerita bahwa Dewi hampir saja memotong jarinya sendiri, jika telat beberapa detik, jari anaknya dipastikan sudah tak utuh.
Entah sudah berapa banyak air mengalir di kelopak mata, seorang ibu muda bernama Vinny. Tak lelah mengikuti kemana pun Dewi pergi untuk memastikan ia terlindung dari ancaman dirinya sendiri. Perasaan menghilangkan logika, Vinny yang berprofesi sebagai dosen sarat akan segala keilmuan sempat menumpulkan jaringan neuron otaknya sehingga ia memutuskan untuk membawa anaknya ke orang pintar agar bisa disembuhkan. Harapan pudar, orang pintar menyerah setelah digigit Dewi dengan sekuat tenaga.
“Pak dokter, tolong sembuhkan Dewi,” diiringi tangisan.
“Saya akan berusaha sekuat tenaga, Dewi anak yang luarbiasa,” sembari melirik Dewi yang sedang asyik berbicara entah dengan siapa.
“Dewi sering sekali berbicara dengan sesuatu yang kasat mata, ketika saya tanya ia sedang mengobrol dengan siapa, tetiba dia menangis. Kejadian itu terjadi berulang-ulang Dok.”
“Bolehkah saya berbicara berdua dengan Dewi, Bu ?” Vinny mengiyakan dengan berjalan keluar meninggalkan aku dan Dewi.
Ku tatap dalam-dalam wajah Dewi, wajah yang nampaknya tak asing bagiku. Ia masih berbicara dengan sesuatu tak terlihat mata. Aku terus mengamati pembicaraan yang sama sekali tak ku mengerti. Tetiba Dewi menyapaku.
“Pak dokter, Pak dokter namanya siapa ?” raut wajahnya seketika berubah ceria.
“Gilang, Gilang Setiawan. Kalau teman Dewi namanya siapa ?”
“Perkenalkan Pak dokter, temanku namanya Fika, asal Padang tapi sudah lama tinggal di Bandung. Katanya dia kenal dengan Pak dokter.”
Sulit rasanya untuk tidak mengenal Fika. Dia memang seseorang yang sangat aku kenal.
Tempat yang tak pernah mengenal sepi akhirnya berhasil dikunjungi setelah berjibaku dengan kemacetan panjang, fenomena biasa bagi 250 juta lebih penduduk Indonesia. Tak mudah mengelola bangsa dengan peringkat keempat penduduk terbanyak di dunia, perlu kesabaran serta ilmu bijaksana luarbiasa untuk merangkul ribuan suku tanpa mengakibatkan konflik. Beda kepala beda juga pemikiran manusia, jangan sampai saling sikut untuk berebut isi perut.
Pendidikan dan kesehatan, kebutuhan primer manusia. Tercermin dari antrian yang sudah mencapai deret 600, sekalipun waktu baru menyentuh pukul 7 pagi. Jas putih sudah aku kenakan sedari tadi, kaki bergegas menuju ruangan bertulisan poli psikiatri. Pasien dengan raut wajah istimewa selalu saja aku temui, pandangan kosong tanpa ekspresi seolah menyimpan masalah dengan berat berton-ton.
Tamu pertama menghampiri, seorang gadis kecil berumur 10 tahun dengan jilbab motif bunga yang memesona, sulit untuk menahan diri agar tangan tak mencubit pipinya. Sudah tiga kali ibunya Dewi berkonsultasi tentang “Kelebihan” putrinya yang mengkhwatirkan. Segala kemungkinan dari data yang sudah aku kumpulkan merujuk kepada satu kesimpulan. Dewi terserang penyakit skizofrenia, penyakit psikologis yang menyerang fungsi sistematik dan impuls syaraf otak. Kondisi ini mengakibatkan kegagalan fungsi otak dalam mengolah informasi dari dan ke panca indera, sehingga timbul proyeksi yang tidak seharusnya.
Perkataan menyakitkan sering diterima ibu dari gadis lucu itu. Kebanyakan orang menganggap Dewi gila. Menyendiri di sudut pohon besar seolah berbicara dengan seseorang sembari tertawa, semenit kemudian menangis. Di balik sikap istimewanya tersimpan sesuatu hal yang sulit dimengerti orang lain. Secara kasat mata tak ada yang berbeda dari anak kecil seumurannya, pembeda paling nyata terlihat dari luka di sekitar tangan dan kaki. Ibunya bercerita bahwa Dewi hampir saja memotong jarinya sendiri, jika telat beberapa detik, jari anaknya dipastikan sudah tak utuh.
Entah sudah berapa banyak air mengalir di kelopak mata, seorang ibu muda bernama Vinny. Tak lelah mengikuti kemana pun Dewi pergi untuk memastikan ia terlindung dari ancaman dirinya sendiri. Perasaan menghilangkan logika, Vinny yang berprofesi sebagai dosen sarat akan segala keilmuan sempat menumpulkan jaringan neuron otaknya sehingga ia memutuskan untuk membawa anaknya ke orang pintar agar bisa disembuhkan. Harapan pudar, orang pintar menyerah setelah digigit Dewi dengan sekuat tenaga.
“Pak dokter, tolong sembuhkan Dewi,” diiringi tangisan.
“Saya akan berusaha sekuat tenaga, Dewi anak yang luarbiasa,” sembari melirik Dewi yang sedang asyik berbicara entah dengan siapa.
“Dewi sering sekali berbicara dengan sesuatu yang kasat mata, ketika saya tanya ia sedang mengobrol dengan siapa, tetiba dia menangis. Kejadian itu terjadi berulang-ulang Dok.”
“Bolehkah saya berbicara berdua dengan Dewi, Bu ?” Vinny mengiyakan dengan berjalan keluar meninggalkan aku dan Dewi.
Ku tatap dalam-dalam wajah Dewi, wajah yang nampaknya tak asing bagiku. Ia masih berbicara dengan sesuatu tak terlihat mata. Aku terus mengamati pembicaraan yang sama sekali tak ku mengerti. Tetiba Dewi menyapaku.
“Pak dokter, Pak dokter namanya siapa ?” raut wajahnya seketika berubah ceria.
“Gilang, Gilang Setiawan. Kalau teman Dewi namanya siapa ?”
“Perkenalkan Pak dokter, temanku namanya Fika, asal Padang tapi sudah lama tinggal di Bandung. Katanya dia kenal dengan Pak dokter.”
Sulit rasanya untuk tidak mengenal Fika. Dia memang seseorang yang sangat aku kenal.
Itukan nama tmn² di ODOP...
ReplyDeleteWaduh...
Gilang kenal Fika, tapi Fika baru ingin tau nama Gilang? #hmmm
ReplyDeleteNah, siapa tuh Fika? ditunggu nij lanjutannya. untung namaku ga ikut dalm ceritanya, hehehe
ReplyDeleteNah, siapa tuh Fika? ditunggu nij lanjutannya. untung namaku ga ikut dalm ceritanya, hehehe
ReplyDeleteSi dewie kna kelainan jiwa ya...
ReplyDeleteSi dewie kna kelainan jiwa ya...
ReplyDeletejangan sakiti penulis atau kau akan abadi dalam karyanya :D
ReplyDeletekreativ dan selalu penuh ide-ide baru mas Gilang ini
ReplyDeleteKreatif memang abang satu ni.ditunggu lanjutannya
ReplyDeleteWah...kalau namaku dipakai, jadi apa ya? Awas kalo dijadikan yang enggak-enggak...hehe
ReplyDeleteSelalu penuh ide kreatif, bagi tipsnya donk :)
ReplyDeleteAbang nih sukanya main horror ...
ReplyDeleteKok pak dokternya kenal si fika hmmm ditunggu kelanjutannya bang gilang ..😊😊
ReplyDeletewahh,,ini cerita kedua yg aku baca tentang skizofrenia, menarikk!!
ReplyDeleteDitunggu kelanjutannya, penasarann sama sosok fika..
Baru aja kemaren baca tentang skizofrenia. Wahh sekarang ada ceritanya.
ReplyDeleteSelalu suka sama cerita yang berbau kejiwaan, apalagi kalau tokohnya saya. :D
Duhh, penasaran. -,-
Nice...
ReplyDeleteBaru baca bang... agak merinding gitu.
ReplyDeleteBaru baca bang... agak merinding gitu.
ReplyDelete