"Jika ibu mengasihiku laksana malaikat tanpa sayap, maka
seorang ayah adalah penguat ketika ku hampir menyerah dari terpaan
masalah"
Pagi baru saja menjelang namun sosokmu sudah hilang, padahal aku hanya telat 15 menit dari pukul 7 pagi. Ketika kecil diriku sering bertanya “mengapa Ayah pergi sepagi ini ?‘’ Ibu menjawab sebari tersenyum “ Ayah, cari uang untuk Gilang jajan “. Semakin dewasa maka semakin ku mengerti definisi perjuangannya, Ayah maafkan aku yang selalu membebanimu dengan mulut yang selalu saja menuntut.
1. ketika Ibu mengandungku, perjuangan Ayah tak
boleh dianggap angin lalu
Semangat muda khas remaja, saat itu mengalir deras di
dada. Keinginan kuliah di universitas terbaik walau berada di luar kota
kuajukan kepada Ibu dan Ayah, Ibu mengiyakan diiring hening karena berpikir
butuh biaya yang tak kecil merealisasikan mimpi anaknya ini, tapi Ayah tegas
mengiyakan disertai senyuman yang lagi dan lagi menguatkan sekalipun ku tahu
tak mudah mengumpulkan uang puluhan juta rupiah.
Pagi baru saja menjelang namun sosokmu sudah hilang, padahal aku hanya telat 15 menit dari pukul 7 pagi. Ketika kecil diriku sering bertanya “mengapa Ayah pergi sepagi ini ?‘’ Ibu menjawab sebari tersenyum “ Ayah, cari uang untuk Gilang jajan “. Semakin dewasa maka semakin ku mengerti definisi perjuangannya, Ayah maafkan aku yang selalu membebanimu dengan mulut yang selalu saja menuntut.
Semua
orang pasti tahu perjuangan seorang Ibu dari mengandung hingga melahirkan
sungguh luarbiasa, tapi dibalik itu ada perjuangan dalam diam yang tak kalah
perkasa.
Sebagai
suami muda dengan berbagai beban yang sudah terasa, mendengarkan istri hamil
merupakan kenikmatan tiada tara, bekerja semakin giat rela mengambil lembur
mengorbankan kesehatan yang ada agar Ibu dan aku yang masih dalam kandungan
tetap terjaga.
Memasuki bulan kesembilan,
Ayah semakin rajin bekerja sekaligus jadi suami siaga, mengumpulan materi dan
doa agar aku selamat lahir ke dunia
2. Aku berhasil
lahir kedunia, Ayah senang tiara tara
Kali pertama membuka mata, seorang
lelaki dengan wajah haru mengumandangkan adzan di telinga, saat itu aku tak
tahu betapa syahdu perjuanganya. Jika saat itu aku sudah mampu berbicara
terimakasih kedua teruntuk Ayah yang berjuang dengan perkasa.
Ibu masih terlalu lemas untuk melakukan
berbagai rutinitas, memasak dan mencuci diambil alih oleh ayah seorang diri.
pergi ke pasar membeli bahan makanan dan perlengkapan bayi, ia lakukan walau
baru pertama kali, kegiatan itu dilakukan disela waktu kerja. Terbayang betapa
capai, belum lagi ketika harus terjaga disaat aku menangis di malam buta.
3. Aku ingin sepeda, Ayah membeli bahkan mengajari walau membolos
diwaktu kerja
Layaknya
anak kecil yang banyak tuntutan ketika teman sepermainan punya hal baru, kala
itu ibu bercerita, kala aku kecil ingin sekali punya sepeda, ia memberitahukan
ayah walau Ibu tahu masa itu sulit untuk mengumpulkan rupiah. Ayah mengiyakan
dengan berarti resiko mengajuan pinjaman karena keinginan ku tidak ada di
daftar pengeluaran.
Tak
hanya sampai di sana, ketika Ibu tak bisa mengajari bersepeda, Ayah meluangkan
waktu walau dengan resiko membolos dengan alasan yang bisa saja
ditertawakan. Ketika pertama kali
mengayuh aku terjatuh, Ayah mengampiri dan menguatkan “Dalam berbagai
keadaan menyerah bukan pilihan“ sebari mengelus rambutku.
4. Beranjak
SMA aku mulai mengenal cinta, Ayah mengambil peran jadi sahabat yang rela
mendengarkan curhat ala remaja
Menyukai lawan jenis adalah fitrah manusia, termasuk aku
yang saat itu masih SMA.Mencuri pandangan dan diam-diam menaruh suka, butuh
teman untuk berbagi cerita cinta.
Ibu dan ayah adalah pelarianku berbagi cerita, mereka
bercerita masa dimana mereka pun saling menaruh suka. Aku tertawa saat Ayah
bercerita pengorbanannya mendapatkan ibu.
Cinta
seperti pisau, sisi lainnya membuat ku terluka. Ia melihat sikapku yang tak
biasa, ia kembali bercerita bahwa sakit hati dalam cinta adalah pelajaran maha
berharga.
5. Ku ajukan keinginan untuk
kuliah ke luar kota, Ayah mengiyakan walau masalah materi harus ia hadapi
Dalam hening ku berdoa, semoga mereka
berdua selalu dalam lindungan yang kuasa, karena hingga saat ini aku belum bisa
membalas, sekalipun memberi uang ratusan juta.
Sayang mereka tiada tara, tidak dapat diukur dengan nominal
angka.
Gambar diambil dari Solopos.com
dan sithhuwili.blogspot.com
Berdasarkan perbaikan dan pengembangan dari tulisan yang
pernah dimuat hipwee.com
OneDayOnePost_Hari_ke_12
Hiks, jd rindu bapak ibuk di KampungðŸ˜.
ReplyDeletePagi-pagi bc tulisan ini homesick banget nih jdnya.
Terharu:'(
ReplyDeleteharus digarisbawahi:Sayang mereka tiada tara, tidak dapat diukur dengan nominal angka.
Gilang bikin baper :'(
ReplyDeletesemoga mereka berdua selalu dalam lindungan yang kuasa, selalu sehat,selalu bahagia.. aamiin...^_^
ReplyDeleteJadi inget bapak dan ibu yg rela bekerja di bawah terik matahati demi anak-anaknya.
ReplyDeleteJadi inget bapak dan ibu yg rela bekerja di bawah terik matahati demi anak-anaknya.
ReplyDeleteaku menangis Gilang..inget kedua ortu yg dah almarhum..
ReplyDeleteaku menangis Gilang..inget kedua ortu yg dah almarhum..
ReplyDeleteinget ayah yang udah beristirahat dengan tenang...
ReplyDeletebtw itu narasi no 2 dan 3 emang sama bang?
Hikss.. Instropeksi lg INI
ReplyDeleteBerbahagialah yang masih memiliki orang tua. Sehingga bisa membalas jasa-jasa mereka sepol kemampuan.
ReplyDeleteini bikin aku flashback ke 18 tahun yang lalu :(( alhamdulillah makasih mas gilang udah bikin aku merenung
ReplyDelete