Sebagai penduduk desa yang lahir dan besar di daerah, saya tidak sering merasakan kemacetan dan melihat ribuan orang berdesak-desakan. Namun ketika menjejak Jakarta ada sesuatu hal yang selalu dirasakan.
Jakarta dilihat dari puncak tertinggi Monas
(Dokumentasi pribadi)
Di tulisan sebelumnya, saya menceritakan tujuan ke Jakarta untuk menghadiri undangan dari Blibli
Baca juga : Berkreasi dengan Blibli.
Rumah saya di Bandung tapi bukan Bandung kota. Sekitar 1,5 jam untuk ke pusat Bandung. Walhasil bermacet-macet ria hanya ketika kuliah dan ada kepentingan ke kota Bandung.
Banyak orang yang berkata bahwa Bandung macetnya hampir seperti Jakarta, memang sih Bandung macet tapi tidak seseram Jakarta. Kalau dalam perbandingan macet Bandung itu 7 dan Jakarta 9.
Dulu teman yang bekerja di Jakarta pernah bercerita bahwa jarak beberapa KM saja kalau sedang macet harus ditempuh lebih dari sejam, warbiasa bukan ?
Kali ini saya merasakan sendiri, dari Thamrin ke Stasiun Pasar Senin saja memakan waktu hampir sejam. Jika naik motor waktu terpangkas setengahnya.
Berbicara kendaraan selama di Jakarta, 3 kali naik Grabcar dan 1 naik Grab Bike. Awalnya tidak terlalu macet tapi lama kelamaan Jakarta menampakan wujud aslinya.
Ditambah di jam pulang kerja sedikit susah untuk mendapatkan transportasi online seperti Grab dan Gojek.
Soalnya di saat yang sama orang-orang memesan Grab dan Gojek secara serentak. Saya harus mendapatkan kendaraan setelah menunggu 30 menit, setelah beberapa kali dicancel, hiks banget deh.
Selama di Jakarta cuma jalan-jalan ke tempat yang dekat-dekat saja. Senen-Monas, Monas-Istiqlal, Istiqlal- Thamrin, Thamrin, Senen. Segitu saja sudah menguras tenaga hehe.
Rasanya Jakarta harus meniru Malaysia yang mulai memisahkan pusat bisnis dan pusat pemerintahan, kalau tidak saya rasa akan semakin macet.
Baca Juga : Menjejak Malaysia
Macet itu membuat orang emosian, istilahnya kasarnya kesenggol dikit bacok.
Kalau hidup di Jakarta istilahnya tua di jalan deh.
"Ken, kalau mendapatkan pekerjaan dengan gaji besar di Jakarta, apakah kamu mau tinggal di sana ? " Jelas nggak mau dong, lebih baik punya gaji atau penghasilan besar di sudut kota Bandung saja, Solo, Kediri, Jogja seperti lebih asyik. Haha.
Bolehlah sesekali ke Jakarta kalau ada keperluan, kalau untuk bekerja dan tinggal di Jakarta. Sorry to say "Saya bisa gila," hehe.
Entah kenapa lebih suka tinggal di tempat yang tidak terlalu ramai, kesannya iti nyaman. Kan yang jadi perhitungan utama itu kenyamanan, kamu aja kalau sama si dia udah nyaman nggak mau pindah ke lain hatikan ? Hehe.
Jakarta dilihat dari puncak tertinggi Monas
(Dokumentasi pribadi)
Di tulisan sebelumnya, saya menceritakan tujuan ke Jakarta untuk menghadiri undangan dari Blibli
Baca juga : Berkreasi dengan Blibli.
Rumah saya di Bandung tapi bukan Bandung kota. Sekitar 1,5 jam untuk ke pusat Bandung. Walhasil bermacet-macet ria hanya ketika kuliah dan ada kepentingan ke kota Bandung.
Banyak orang yang berkata bahwa Bandung macetnya hampir seperti Jakarta, memang sih Bandung macet tapi tidak seseram Jakarta. Kalau dalam perbandingan macet Bandung itu 7 dan Jakarta 9.
Dulu teman yang bekerja di Jakarta pernah bercerita bahwa jarak beberapa KM saja kalau sedang macet harus ditempuh lebih dari sejam, warbiasa bukan ?
Kali ini saya merasakan sendiri, dari Thamrin ke Stasiun Pasar Senin saja memakan waktu hampir sejam. Jika naik motor waktu terpangkas setengahnya.
Berbicara kendaraan selama di Jakarta, 3 kali naik Grabcar dan 1 naik Grab Bike. Awalnya tidak terlalu macet tapi lama kelamaan Jakarta menampakan wujud aslinya.
Ditambah di jam pulang kerja sedikit susah untuk mendapatkan transportasi online seperti Grab dan Gojek.
Soalnya di saat yang sama orang-orang memesan Grab dan Gojek secara serentak. Saya harus mendapatkan kendaraan setelah menunggu 30 menit, setelah beberapa kali dicancel, hiks banget deh.
Selama di Jakarta cuma jalan-jalan ke tempat yang dekat-dekat saja. Senen-Monas, Monas-Istiqlal, Istiqlal- Thamrin, Thamrin, Senen. Segitu saja sudah menguras tenaga hehe.
Rasanya Jakarta harus meniru Malaysia yang mulai memisahkan pusat bisnis dan pusat pemerintahan, kalau tidak saya rasa akan semakin macet.
Baca Juga : Menjejak Malaysia
Macet itu membuat orang emosian, istilahnya kasarnya kesenggol dikit bacok.
Kalau hidup di Jakarta istilahnya tua di jalan deh.
"Ken, kalau mendapatkan pekerjaan dengan gaji besar di Jakarta, apakah kamu mau tinggal di sana ? " Jelas nggak mau dong, lebih baik punya gaji atau penghasilan besar di sudut kota Bandung saja, Solo, Kediri, Jogja seperti lebih asyik. Haha.
Bolehlah sesekali ke Jakarta kalau ada keperluan, kalau untuk bekerja dan tinggal di Jakarta. Sorry to say "Saya bisa gila," hehe.
Entah kenapa lebih suka tinggal di tempat yang tidak terlalu ramai, kesannya iti nyaman. Kan yang jadi perhitungan utama itu kenyamanan, kamu aja kalau sama si dia udah nyaman nggak mau pindah ke lain hatikan ? Hehe.
Samaa... aku juga ga mau hidup di jakarta. Ga kuat bunyi klakson dimana mana
ReplyDeleteAku pertama ke Jakarta hampir pingsan saat naik KRL. Saat itu bilang kalau saya tidak sanggup hidup di Jakarta...:)
ReplyDeletePaksu dulu juga mau dipindah ke Jakarta dan nggak mau. Kalau aku? Ngikut paksu aja...
ReplyDeleteAku nggak mau di Jakarta. Lieur Aa jalannya. Mana aku orangnya pelupa buat ngapalin jalan. Bisa-bisa nyasar mulu nih kalau tinggal di sana. Tetap lebih suka tinggal di kampung yang adem, sejuk, dan masih bisa bertemu dan saling sapa dengan tetangga.
ReplyDeletedulu aku jg mikir gitu mas :p. 18 thn di aceh, yg adem ayem tentram, 6 bulan di medan yg walo macet tp ga serem kyk jkt, 4 thn sekolah di malaysia yg lancar jaya selalu. truuus terlempar ke jakarta hahahaha. aku udh bertekad wkt itu, ga bakal lama2 di sini. gila ntr.
ReplyDeletetapi kenyataannya, malah nemu jodoh, kerjaan yg bagus, dan akhirnya ga terasa bertahan 12 thn :D. lama2 jd biasa. lama2 dgr suara klakson saut2an, udh kayak suara kaset rusak. ga berarti apa2 lagi hahahahah. mungkin aku msh kuat krn kerjaan , masalah benefitnya, suami jg udh bagus posisi, jd kita pikir, kalo pindah, apa bisa dpt yg sebagus skr :). dipikir2, msh banyak positifnya di jkt, yo wis, ayo lanjutkan lg di sini :D.
Sebagai anak pulau, saya nggak nyaman dan sesak nafas begitu menjejakkan kaki dijakarta. Begitu lihat kemacetan aja sudah stress duluan
ReplyDelete